Tak Akui Sandera 7 Penyidik KLHK, Warga Bonai Darussalam Minta Maaf Pada Menteri...

Tak Akui Sandera 7 Penyidik KLHK, Warga Bonai Darussalam Minta Maaf Pada Menteri...
Ilustrasi peristiwa konferensi pers dan aksi demo terkait penyanderaan 7 penyidik KLHK oleh warga Bonai Darussalam. Foto Riaupos.
PEKANBARU (RIAUSKY.COM)– Dua belah pihak terkait aksi penyanderaan tujuh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) di Kecamatan Bonai, Kabupaten Rokan Hulu (Rohul), pekan lalu, memberikan pernyataan ke media di dua tempat berbeda, Senin, 5 September 2016. 
 
Namun masing-masing memberikan pernyataan berbeda terkait peristiwa penyanderaan yang sempat memantik kegeraman Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar tersebut. Uniknya, perwakilan warga minta maaf melalui media ke menteri. 
 
Saat konferensi pers kemarin, tujuh PPNS mengaku mendapat ancaman dari warga. Bahkan mereka sempat diteriaki akan dibunuh. Hal itu diungkapkan Teddy P Tinambunan SH saat konferensi pers di Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru, Senin, 5 September 2016. “Pada awal penyanderaan, memang kami mendengar kata-kata akan dibakar dan dibuang ke sungai. 
 
Kekerasan fisik tidak ada, hanya ancaman dengan kata-kata saja. Kami disandera dari sekitar pukul 16.00 WIB sampai 02.00 WIB dini hari,” ujarnya didampingi dua orang temannya yang juga ikut disandera.
 
Kurang lebih selama sepuluh jam, mereka dijaga ratusan warga di lokasi kejadian. Tidak boleh ke mana-mana. Bahkan untuk mengecas handphone (HP) pun mereka tidak boleh.
 
Saat ditanyakan apakah massa yang menyandera merupakan kelompok tani atau orang suruhan perusahaan, mereka belum bisa memastikan itu. Sedangkan apakah lahan yang terbakar merupakan lahan ilegal atau tidak, Teddy pun belum dapat memberikan keterangan lebih lanjut.
 
“Kalau soal itu, langsung ditanya saja ke pimpinan. Yang pasti tindak lanjut dari kami selanjutnya mengikuti petunjuk dari Bu Menteri dan tentunya tidak berhenti sampai di sini,” ujarnya seperti dilansir dari riaupos, Selasa, 6 September 2016.
 
Ketujuh petugas yang sempat disandera saat itu di antaranya, Eduard Hutapea SSi selaku Kepala Seksi Wilayah II BPPHLHK Sumatera. Sunardi SKom, Pengawas Lingkungan Hidup Pertama, Teddy P Tinambunan SH, Polhut Muda. Uus Suherna Amd, Polhut Pelaksana Lanjutan. Berikutnya Donald Situmorang, Polhut Pelaksana Lanjutan. Zulfatman Alfian, Polhut Pelaksana Lanjutan dan Alkhalid Mawar Dani, Polhut Pelaksana Lanjutan.
 
Warga Bantah Lakukan Penyanderaan
 
Di tempat terpisah, puluhan masyarakat dan ninik mamak dari Desa Bonai (Rokan Hulu) dan Desa Siarang Arang (Rohil) datang ke Pekanbaru. Mereka memberikan klarifikasi terkait kabar penyanderaan PPNS tersebut.
 
Bertempat di Hotel Raudah, juru bicara warga dua desa, Jefrimen menjelaskan yang terjadi bukanlah penyanderaan. Melainkan mereka meminta klarifikasi atas status lahan yang sejak 10 tahun lalu izinnya tidak dikeluarkan KLHK.
 
“Maksud kami hanya sekadar ingin bertanya. Ingin memberi tahukan kepada anggota tim Ibu Menteri (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, red). Sesuai adat istiadat kami, kami ingin bertanya. Terlalu ekstrem kalau sampai diartikan sebagai penyanderaan,” kata Jefrimen meluruskan.
 
Meski demikian, Ketua BPD Desa Bonai itu menyampaikan permintaan maaf apabila atas kejadian tersebut dinilai salah di mata hukum. Yang jelas, katanya, tidak ada niat warga melakukan penyanderaan. Mereka juga membantah jika telah melakukan intervensi dan pengancaman terhadap tim tersebut. Termasuk meminta mencabut dan menghapus foto yang sudah diambil tim.
 
“Mungkin apa yang kami lakukan dianggap salah menurut hukum. Lewat kawan-kawan wartawan kami menyampaikan permintaan maaf kepada Ibu Menteri,” sebutnya.
 
Apa yang dilakukan masyarakat, kata Jefrimen, dalam meminta klarifikasi kepada tim KLHK adalah bentuk reaksi spontanitas. Karena warganya tidak mengenali mereka. “Kami tidak tahu mereka dari mana. Mereka tiba-tiba masuk dan lakukan penyegelan. Makanya mereka langsung kami tanyai dan kami ajak diskusi. Sekali lagi hanya diskusi tidak ada penyanderaan,” tegasnya.
 
Sementara itu, terkait areal perkebunan yang terbakar dan yang mereka kelola, Jefriman menyebutkan jika lahan itu merupakan lahan turun temurun. PT APSL, menurut mereka, dimintakan untuk mengelola lahan yang mereka miliki.
 
Mereka juga membantah jika kebakaran tersebut sengaja. Sebab lahan mereka juga sudah ditanami sejak 2008 dan sudah dalam masa panen. Api menurut mereka berasal dari luar areal perkebunan, yang menjalar dibawa angin. 
 
“Kami sudah berusaha padamkan. Ada 10 mesin pompa, dua mobil damkar. Tapi yang namanya alam berkendak angin bertiup kencang kami bisa apa,” sebut Ketua Kelompok Tani Melayu Terpadu, Ajirnarudin, Desa Siarang Arang, Kabupaten Rohil.
 
Kebun dibangun di atas lahan 3.300 hektare. Tanggal 22 Agustus 2016 kebun  dimasuki titik api. Pertama dari sebelah timur masuk kebun sebelah barat. ‘‘Ini dapat terkendali,” sambungnya.
 
Sebagai Ketua Poktan Ajinarudin menjelaskan ada 875 KK yang menggantungkan penghasilan dari sana. “Kami tidak melawan Bu Menteri. Kami patuh tunduk taat kepada Menteri. Kalau salah tunjukkan kami. Kami hanya menyampaikan hajat cita-cita hidup bukan untuk mencari kaya,” keluhnya.
 
Ia juga menjelaskan bahwa pihak perusahaan diminta masyarakat setempat untuk menjadi bapak angkat mengelola lahan tersebut. “PT APSL tidak datang sendiri, tidak menyerobot. Tetapi ninik mamak mengundang PT APSL untuk mengelola kebun untuk anak kemenakan kami. Perusahaan tidak memiliki tanah sejengkal di desa kami,” tegasnya.
 
Humas dan Legal PT APSL Novalita Sirait juga mengungkapkan hal senada. Mereka hanya mengelola dan menjadi bapak angkat.
 
“Untuk meluruskan, lahan yang terbakar itu lahan kelompok tani. Api berasal dari kebun orang, dan sudah ada laporan polisinya. Dan tidak mungkin masyarakat mau membakar sendiri. Ada yang mau panen,” beber Novalita.(R01/rpg)

Listrik Indonesia

Berita Lainnya

Index