SUNGGUH MULIA, Kisah Pengabdian Guru Honor Siak, Bergaji Rp 300 Ribu, Menumpang Truk dan Naik Sampan

SUNGGUH MULIA, Kisah Pengabdian Guru Honor Siak, Bergaji Rp 300 Ribu, Menumpang Truk dan Naik Sampan
Bambang Bonari dan sepeda motor kesayangannya senantiasa bangga bertugas di wilayah pedesaan di Siak.

SIAK (RIAUSKY.COM)- Saat ini, banyak sekali guru yang menolak untuk ditempatkan di pedesaan, apalagi di wilayah terpencil dan minim prasarana seperti transportasi, air bersih listrik, plus sambungan telpon konon lagi dengan gaji yang (maaf) sangat kecil. Pastinya jarang yang mau.

Namun, bagi guru yang satu ini, pandanganya mungkin berbeda. Dia begitu mencintai suasana mengajar dan hidup di pedesaan tersebut. Sembari menyalurkan hobi dan kecintaannya untuk melakukan penghijauan, suka duka pun silih berganti mengikuti. Tapi, semangatnya tak kunjung pudar.

 Bambang Bonari Irwan Sektiawan namanya, kini dia mengajar di kecamatan Pusako, kabupaten Siak. 

Sejak tamat kuliah, ia mengabdikan diri menjadi guru honor di SMAN 1 Pusako.

Perjalanan hidup Bambang cukup berliku. Mulai dari menerima gaji Rp 300 ribu perbulan hingga bisa tercatat sebagai guru honor di tingkat kabupaten.

Bahkan tidak jarang pula ia membuat utang di kedai-kedai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi guru, tetap ia jalani semaksimal yang ia bisa. 

Sampai sekarang, ia masih guru honor di SMA yang baru berkembang itu.

Saking tingginya semangat Bambang, ia tidak urung semangat memaksimalkan kreatifitasnya untuk berbuat. Ia tampil di berbagai kesempatan, dan murah bergaul meski dengan guru lain yang sudah lama menjadi PNS. Mengajar di sekolah ia lakoni dari pagi hingga sore hari.

Ia masih mencuri waktu lain untuk beraktivitas di bidang lingkungan, seperti menanam pohon, menjaga keseinbangan ekosistem, diskusi lingkungan dan sejenisnya yang terbalut dengan progran Pusako Hijau, sebuah program lingkungan yang inspiratif dilahirkan bersama masyarakat Pusako.

Lulusan Pendidikan Biologi UIR itu memang tak kenal kata menyerah. Setamat kuliah, SMAN 1 Pusako baru 2 tahun berdiri. Masih banyak kekurangan di sana -sini. Fasilitas sekolah jangan ditanya lagi.

"Beberapa waktu, SMAN 1 Pusako sempat meminjam ruangan MDA untuk proses belajar mengajar. Gedung hanya beberapa gugusan, meja kursi dan buku-buku juga dalam keadaan serba kekuranga," kata pria pemilik tinggi badan 180 cm itu, Senin (21/8/2017).

Kini, sekolah itu sudah lengkap. Baik kabupaten maupun provinsi sudah menggelontorkan anggaran secara berangsur demi menambah ruang kelas, pustaka, dan kini laboratorium. Sekolah itu pun terus berkembang dengan baik.

Ia menceritakan, pada 2011 silam, ia tinggal di Kampung Bungaraya, kecamatan Bungaraya. Pergi mengajar ke sekolah yang berada di kampung Dosan, kecamatan Pusako. Untuk sampai di sekolah itu tepat waktu, ia harus bangun sebelum cahaya matahari terbit.

Maklum, Bungaraya dan Pusako dibelah sungai Siak. Jembatan penghubung di sana tidak ada. Hanya sampan motor, yang selalu bersandar di tepian untuk mengantarkan penumpang ke tepian pelabuhan rakyat kampung Benayah.

Menuju tepian sungai, ia mengandarai Honda MegaPro tahun 2000, miliknya. Motor itu pun sudah banyak dimodif, karena suku cadang standar tidak lengkap lagi.

Sesampai di tepian, Bambang harus berjibaku menaikan motor itu ke atas sampan. mereka menyebrang di atas tenangnya sungai Siak, lalu menurunkan motor itu di pelabuhan rakyat Kampung Benayah. 

Itu ia lakukan saat sedang beruntung, ada uang untuk membayar ongkos sampan termasuk membayar ongkos untuk motor yang ikut naik sampan.

Bila kantong sedang kering, Bambang harus meninggalkan sepeda motornya di sebuah warung kecil dekat tepian Bungaraya. Ia menyebarang dengan sampan itu seorang diri, demi menghemat ongkos penyebrangan.

"Sampai di tepian Benayah, jarak ke sekolah lebih 2 Km lagi. Saya harus menempuhnya dengan jalan kaki. Sesampai di sekolah, sepatu sudah coklat tanah, badan mandi keringat," kenang dia.

Tapi kadang kala, ia juga merasa masih beruntung, bila ada truk lewat. Ia dapat numpang, jadi tak perlu lagi jalan kaki. Dapat naik truk sawit adalah pagi yang ceria bagi seorang Bambang.

"Rp 300 ribu sebulan, digaji oleh sekolah. Tahun kedua saya honor di sana, nama sudah masuk ke data base kabupaten, gaji naik berlipat-lipat, jadi Rp 1,4 juta. Lumayan," kata dia.

Dua tahun kemudian, kata dia, gaji naik Rp 200 ribu. Sampai akhir 2016, ia terima Rp 1,6 juta. Sejak SMA sederajat diambil alih provinsi, kini ia terima Rp 2,170 juta.

Sejak 2013, Bambang pun pindah ke Sungai Apit. Ia menikah dengan gadis manis bernama Hanifa Susanti, S.Pd. Sejak itu, ia tak perlu lagi naik sampan menuju ke tempat pengabdian. Sungai Apit -SMAN 1 Pusako lebih kurang 45 menit.

"Perjalanan Sungai Apit ke Dosan lumayan jauh. Saya masih setia dengan Mega Pro. Selama 45 menit dari rumah ke sekolah sekarang sudah biasa, dengan pemandangan kebun sawit kiri kanan, dan beberapa di antaranya perkampungan," ujar dia.

Apalagi sejak 2015, jalan Sungai Apit-Dosan sudah beraspal. Namun begitu, Bambang masih sempat menikmati perjalanan dengan jalan tanah, sekira tahun 2013 hingga 2014.

Hingga kini, ia mempunyai program Pohon Cinta untuk Pusako Hijau melalui wadah LSM Bina Cinta Alam Kabupetan Siak. Ia terlibat dalam pengembangan kawasan wisata Danau Nagasakti di Dosan. Ia sudah menanam 24 ribu pohon. Bahkan ia menyediakan pohon untuk ditanam pengunjung di sekitar kawasan danau. Itulah disebut Pohon Cinta. (*)

 

Sumber berita: tribun Pekanbaru

Listrik Indonesia

#Pendidikan

Index

Berita Lainnya

Index