Sarjana jadi Petani, Hasilnya Rp 700 Juta per Bulan, Gimana, Mau..?

Sarjana jadi Petani, Hasilnya Rp 700 Juta per Bulan, Gimana, Mau..?
Fahri Sumanto di tengah lahan pertanian yang menyejahterakannya.

RIAUSKY.COM- Bergelar sarjana, Fahri Sumanto menekuni bidang pertanian. Berbekal 2 hektare lahan, Fahri dan empat rekannya berhasil membuktikan bahwa seorang petani juga bisa punya penghasilan menggiurkan.

Usianya masih tergolong muda, 29 tahun. Ketika memulai aktivitas pertaniannya 7 tahun silam, Fahri Sumanto jauh lebih belia lagi.

"Waktu itu status saya masih mahasiswa Biologi Universitas Khairun," tuturnya kepada Malut Post (Jawa Pos Group), Jumat (17/11).

Fahri memulainya dengan membabat hutan di desa mereka Yoka Jaya, Kecamatan Wasile, Halmahera Timur, seluas 2 hektare.

Ia bersama empat rekannya; Baktiar Munawar, Dipa, Mugi, dan Abdurrahman.

Lahan tersebut merupakan hibah dari pesantren setempat. "Pohon dan tumbuhan liar kami tebang lalu dibakar," ungkapnya.

Dua hektare lahan itu lantas dibagi masing-masing 1 hektare untuk ditanami tomat dan cabai. Fahri dan rekan-rekannya juga membentuk kelompok tani bernama Tani Jaya.

"Kami memilih menanam tomat dan cabai karena dua komoditas itu tiap hari dicari dan dikonsumsi masyarakat," tutur suami Sukarni Anwar tersebut.

Lahan tersebut lebih dulu dipetak sebelum bibit disemai. Bibit tomat dan cabai dibeli dari toko-toko di Ternate.

Meski awalnya banyak pihak meragukan, Fahri selaku koordinator kelompok taninya yakin ada hal yang menjanjikan dari sektor pertanian.

Keyakinan putra pasangan Sumanto A Rustan dan Nursin M Taher ini tak salah. Panen perdana mereka hasilnya amat memuaskan.

Hingga tahun ketujuh ini, sekali panen hasilnya bisa mencapai 19 ribu ton. "Baik tomat maupun cabai hasilnya bisa sampai 19 ribu ton sekali panen. Kami panennya sebulan sekali," kata Fahri.

Per kilogram tomat dan cabai dijual seharga Rp 7 ribu. Fahri mengklaim, tiap kali panen ia dan kelompok taninya bisa menghasilkan uang sebanyak Rp 700 hingga Rp 800 juta. "Pendapatan rata-rata per bulan di atas Rp 700 juta," akunya.

Lima sekawan ini lebih memilih memasarkan hasil tani mereka di Ternate. Pasar tradisional Gamalama, Bastiong, dan Sasa jadi tujuannya. "Kalau jual di Haltim tidak laris. Karena tomat dan cabai di Haltim banyak di pasar," jabarnya.

Hasil panen didistribusikan ke Ternate menggunakan pick up milik Fahri. Kendaraan tersebut dibeli dari hasil jualan tomat dan cabai juga.

Fahri juga berhasil memberangkatkan ayahnya umrah, membeli 2 unit Avanza, 3 unit sepeda motor Kawasaki, dan membangun rumah dari hasil bertani.

Fahri hanya mengenyam ilmu bercocok tanam secara formal di tingkat SMA. Ia sendiri merupakan seorang sarjana Biologi.

"Tapi sejak kecil sudah sering ikut ayah bertani. SMA, jurusan saya adalah pertanian. Jadi tidak sulit bagi saya geluti dunia pertanian," ungkapnya.

Usaha budidaya Fahri dan rekan-rekannya ini bukannya tak pernah mengalami kendala. Pada 2016, bisnis mereka sempat mandek lantaran minimnya permintaan pasar.

Penyebabnya adalah banyaknya tomat dan cabai impor dari luar Maluku Utara yang beredar di pasaran.

"Tapi itu tidak melemahkan semangat kami. Kami tetap bertani, karena itu sumber hidup kami," imbuhnya.

Meski kini permintaan pasar sudah kembali normal, Fahri berharap pemerintah mau melakukan intervensi yang menguntungkan petani lokal. Salah satu caranya adalah mengurangi impor rempah.

"Bila perlu putuskan rantai ketergantungan rempah dan sembako dari daerah lain, sebab bisa membahayakan petani lokal. Kami yakin pasokan di daerah bisa menjamin konsumsi masyarakat," tandasnya.(*/R04/jpnn)

Listrik Indonesia

#Pendidikan

Index

Berita Lainnya

Index