Catatan dari Ekspedisi Pulau Pindalang (Bagian Per

Menyusuri Pulau Tanpa Penduduk Disambut Hiu dan Ambai-ambai

Menyusuri Pulau Tanpa Penduduk Disambut   Hiu dan Ambai-ambai
Suasana perjalanan menuju Pulau Pindalang.
Pernahkah anda menonton film Cast Away, sebuah film yang diproduksi Century Fox dan Dream Work pada tahun 2000 lalu? Film  yang masuk sebagai salah satu nominasi penerima Piala Oscar yang diperankan oleh Tom Hanks itu mengisahkan tentang perjuangan Chuck Noland (Tom Hanks), seorang eksekutif muda di perusahaan jasa Federal Express (FedEx), yang harus bertahan hidup seorang diri di sebuah pulau tak berpenghuni setelah pesawat yang ditumpanginya jatuh dalam perjalanan di laut Pasifik.
 
Sempat dipenuhi rasa suntuk dan jenuh karena tidak ada interaksi dengan manusia manapun selama lebih kurang 4 tahun, akhirnya, Chuck memutuskan membuat sebuah rakit untuk bisa keluar dari pulau tersebut. Berhadapan dengan ganasnya gelombang laut pasifik dan ketakutan terhadap ganasnya kawanan hiu di tengah samudera luas. 
 
Seperti pulalah yang menjadi catatan dari perjalanan kami menuju Pulau Pindalang (Bindalang, versi peta geografis) Provinsi Sumatera Barat. 
 
Pulau seluas 56,58 hektare ini masuk dalam wilayah administratif Kota Padang. Tepatnya di Kelurahan Air Manis, Kecamatan Padang Selatan. Jaraknya, bila ditarik garis lurus hanya berkisar 15 kilometer lebih. Namun bila ditempuh menggunakan kapal nelayan bisa menghabiskan waktu berkisar 2 jam perjalanan namun, tak berpenghuni. Hanya ada satu kepala keluarga saja berdiam di sana, Pak Ahmad. 
 
Bila angin tak kencang dan tak ada badai di lautan, pulau ini masih bisa dilihat dari pinggir Kota Padang. Namun, bila air sedang pasang tinggi, maka, pulau ini hilang seolah tertelan oleh luasnya samudera Hindia yang ganas. 
 
Tak terbayangkan oleh kami ganasnya gelombang laut saat perjalanan menuju pulau tersebut. Di tengah langit yang semakin gelap, kapal motor kecil milik Pak Edi, warga di Jembatan Muaro yang kami sewa berjalan pelan menyusuri riak gelombang laut yang saat itu sangat bersahabat. 
 
Beberapa kawan-kawan bahkan masih bisa bercengkerama sembari mengambil foto-foto sebagai bagian dari dokumentasi perjalan di tengah laut. Tak ada baju pengaman (Life jacket) atau pelampung di atas kapal, kami seakan hanya berserah kepada Allah sang penguasa alam, semoga perjalanan yang kami lakukan akan berjalan lancar hingga ke tujuan.
 
Rasa sesak di dada saya akan badai di perjalanan baru lepas setelah sampan motor kecil yang kami sewa mendarat di pasir putih yang pada malam itu hanya terlihat samar karena tak ada penerangan. Sementara di bibir pantai samar pula saya melihat sekelebatan anak-anak hiu bermain. ''Alhamdulillah... sampai juga akhirnya...''
 
Dari seluruh anggota rombongan yang melakukan ekspedisi ini, mungkin saya satu-satunya yang pernah sampai ke pulau ini. Saya pun tidak menyangka akan sampai kembali ke pulau ini setelah sekitar setahun lalu pernah secara tidak sengaja bersama sejumlah nelayan melaut untuk melihat aktivitas nelayan jaring rawai yang banyak beroperasi di seputar laut Hindia tersebut.
 
Saat itu, karena masih siang, saya masih sempat menyaksikan anak-anak hiu bermain di bibir pantai yang sedang dangkal. Namun, malam ini, saya hanya bergumam dalam hati demi tak ingin mengusik ketenangan seluruh rombongan yang ada di atas sampan. 
 
Bagi para awak sampan seperti Pak Edi, jawabannya sederhana. Dalam perjalanan, serahkan seluruhnya pada Yang Maha Kuasa, Allah SWT. Kalau soal hiu yang saya lihat itu, menurut dia, itu bukan hal baru bagi para nelayan pulau. Walau ukurannya besar, bahkan bisa mencapai seukuran sampan yang kami gunakan, atau sepanjang 5 meter, namun, ikan yang disimbolkan sebagai predator laut lepas itu bukanlah makhluk yang wajib ditakuti.
 
''Di sini, nelayan tak takut pada hiu, dan belum ada sejarahnya nelayan digigit hiu di sini, semenjak saya muda melaut,'' ungkap Edi kala itu. 
 
Saat menyusuri perairan ini kembali, rasa waswas itu seakan tak ada sama sekali. Karena itulah, perjalanan itu menjadi demikian asyik dan menyenangkan bagi kami.
 
Malam hari, bersama penghuni pulau, Pak Ahmad dan keluarga, kami meminta izin untuk menumpang di pulau. Namun, tentunya tak mudah juga baginya untuk bisa menjelaskan kepada kami tentang keadaan pulau Pindalang/Bindalang ini. Mengapa pulau ini tak dibuka untuk umum layaknya pulau-pulau yang menjadi destinasi wisata di seputar Sumbar seperti Kepulauan Mentawai, Sikuai, Pamutusan dan sebagainya. 
 
Satu-satunya alasan paling sederhana yang paling kami ingat adalah bahwa, pulau ini adalah aset ulayat milik para nelayan yang tinggal di Kota Padang. Pulau seluas 586,64 kilometer persegi itu adalah pulau yang selama ini menjadi tempat para nelayan berteduh bila badai menghadang di tengah lautan. Walaupun masih ada beberapa pulau seperti Pulau Pandan dan beberapa pulau kecil lainnya,namun Pulau Pindalang adalah salah satu pulau teraman yang bisa didatangi oleh para nelayan. 
 
''Kalau pulau-pulau lain itu, nelayan tak bisa bebas lagi. Ya seperti di Mentawai itulah,'' ungkap Ahmad dibenarkan beberapa kru sampan motor yang menemani kami bertemu dengan Pak Ahmad.  
 
Dikelilingi oleh terumbu karang dangkal, di pulau ini juga tumbuh ratusan batang pokok kelapa dan semak belukar hijau yang mengagumkan. Selain itu, di tengah pulau yang dikelilingi laut itu, juga ada mata air tawar yang menjadi satu-satunya sumber air bersih untuk diminum bagi keluarga Pak Ahmad atau para nelayan yang singgah.
 
Malam itu kami habiskan dengan membakar api unggun dan membuat sup ikan cakalang kecil serta nasi putih yang memang kami bawa khusus dari sebuah rumah makan di Tapi Laut (Taplau) Padang. Sembari melempar kail ke tengah gelombang laut yang sedang kuat, tak ada yang lebih indah selain menyaksikan kerlip bintang dan bulan serta puluhan ambai-ambai (Kepiting kecil berwarna putih,red) yang merayap di sela-sela pasir putih dan berlari bila berpapasan dengan kami. (Ekspedisi baru saja dimulai).
 
Malam beranjak meninggalkan kami. Dari sela-sela mata yang kelelahan, saya masih bisa menyaksikan beberapa beberapa anggota ekspedisi sedang bersih-bersih sembari memanaskan air untuk membuat seduhan teh dan sarapan pagi. Sementara dari ufuk, dengan bias cahaya putih kekuningan kami bisa menyaksikan bagaimana matahari terbit. (Hhmmm....nikmatnya). (bersambung)
 

Listrik Indonesia

#Pindalang Bindalang

Index

Berita Lainnya

Index