MK Kubur Mimpi Honorer Jadi PNS

MK Kubur Mimpi Honorer Jadi PNS
Ilustrasi
JAKARTA (RIAUSKY.COM) - Tenaga honorarium harus mengubur mimpi indah mereka untuk bisa diangkat secara langsung menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Mimpi tersebut kandas setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak keseluruhan permohonan uji materi yang diajukan oleh tenaga honorarium.
 
"Kami menyatakan permohonan dari pemohon tidak dapat diterima," tegas Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dalam sidang terbuka untuk umum di ruang sidang utama Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat,  Jakarta.
 
MK bukan tanpa alasan kuat menolak permohonan uji materi tersebut. Menurut Arief, pihak pemohon yang terdiri dari satu PNS bernama Rochmadi Sularsono dan tiga tenaga honorer yaitu Wahid Ahmad Nahrowi, Siti Murijstul Khadijah, serta Iva Fitria, tidak memiliki argumentasi kuat.
 
Keempat pemohon tersebut, mengajukan Pasal 2 huruf a; Pasal 2 huruf j; Pasal 6; Pasal 61; Pasal 66 ayat (2); Pasal 136; Pasal 137; dan, Pasal 139 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) untuk diuji oleh MK.
 
Sebab, mereka menilai pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Terutama, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (3) UUD 1945. Pasal itu memaktubkan, setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
 
Karenanya, tenaga honorarium juga memiliki hak untuk membela negara, yakni dengan menjadi PNS. Selain itu, pasal-pasal UU ASN itu juga dianggap berkontradiksi dengan Pasal 28 D ayat (1)  UUD 45.
 
Dalam pasal itu disebutkan, setiap orang berhak atas jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
 
Menurut pemohon, pasal tersebut tidak menjadi acuan Pasal 66 ayat (2) UU ASN. 
 
Terutama pada frasa sumpah/janji PNS yang berbunyi "menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah dan martabat PNS" serta penggalan kalimat "mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku".
 
Bagi tenaga honorarium, janji PNS itu tak bakal bisa dipenuhi oleh mereka. Pasalnya, status hukum mereka sendiri belum memiliki kepastian. 
 
Namun, kata Arief, pemohon tidak bisa menunjukkan argumentasi mengenai pertentangan terperinci antara pasal-pasal a quo dengan UUD 1945. egitu pula pasal-pasal UU ASN yang dimohonkan, juga dinilai majelis hakim tidak memunyai hubungan dengan alasan yang diajukan.
 
"Karenanya, hubungan antara posita dan petitum (permintaan) permohonan tidak jelas," tandas Arief. (R02)

Listrik Indonesia

Berita Lainnya

Index