Dinilai Bakal Mematikan Petani dan Menyenangkan Pengusaha Sawit, POPSI Desak Pemerintah Batalkan Subsidi Rp 2,78 T kepada Industri Biodiesel 

Dinilai Bakal Mematikan Petani dan Menyenangkan Pengusaha Sawit, POPSI Desak Pemerintah Batalkan Subsidi Rp 2,78 T kepada Industri Biodiesel 
Persatuan organisasi petani sawit (POPSI) POPSI yang terdiri dari ASPEK-PIR, SPKS, SAMADE, APKASINDO, JAPSBI menggelar kegiatan diskusi dan konferensi pers via zoom meeting, Jumat (5/6/2020).

JAKARTA (RIAUSKY.COM) - Di tengah kesulitan petani kelapa sawit menghadapi covid-19, pemerintah dinilai hanya mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada industry biodiesel. 

Seperti diketahui, penurunan Harga Tandan Buah Sawit dan kenaikan harga input pertanian seperti pupuk hampir terjadi di seluruh indonesia. Harga ditingkat petani kelapa sawit swadaya selama covid adalah rata-rata dibawah Rp 1000 (seribu rupiah) dan sangat beresiko untuk mampu bertahan 4 bulan kedepannya.

Sementara itu, Pemerintah menggulirkan subsidi yang bersumber dari APBN bagi industri biodiesel (B30) melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar 2,78 triliun. Kebijakan ini kembali menyenangkan industri biodiesel setelah sebelumnya sudah mendapatkan mayoritas dana sawit 85% dari yang dikumpulkan oleh BPDPKS sebesar Rp 38,7 triliun sejak 2015 hingga 2019 atau dengan rata-rata sekitar Rp 7-8 triliun per tahun), sementara untuk petani sampai tahun 2020 sekitar Rp 1,7 triliun melalui program PSR. 

Subsidi kepada industri biodiesel ini kemudian diklaim oleh Bandan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) melalui rilis pers pada tanggal 30 mei 2020 dengan judul Pemerintah melalui BPDPKS Kucurkan Rp2,78 triliun untuk Pengembangan Sawit Berkelanjutan, sebagai bentuk dukungan untuk pengembangan sawit berkelanjutan di hilir yang mencakup peremajaan, sarana dan prasarana, serta pembinaan sumber daya manusia di sektor sawit.

Padahal, semestinya Industri biodiesel tidak perlu disubsidi sebab rata-rata pemilik industry ini adalah taipan sawit Indonesia dengan menguasai lahan sawit ratusan ribu hektar. 

Sebagaimana yang laporan yang direlease oleh TuK Indonesia, kekayaan 29 konglomerat yang terkait dengan bisnis kelapa sawit di Indonesia diperkirakan setara dengan 67 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017. Pada periode itu, pemerintah menganggarkan APBN sebesar Rp2.080 triliun yang terdiri dari belanja pemerintah pusat, transfer ke daerah dan dana desa. Sedangkan total kekayaan 29 taipan tersebut tercatat mencapai US$88 miliar setara Rp1.241 (mengacu kurs Rp14.112 per dolar AS). Pada bulan Februari lalu pun, Wilmar yang mengelola 2,5 juta KL dari program B30, menyumbang Rp. 1 Triliun rupiah untuk pencegahan covid-19 di Indonesia. 

Ini menunjukkan bahwa Industri biodiesel masih mampu untuk mempertahankan industrinya. Perusahaan biodiesel wilmar memiliki kekayaan sekitar US$1,7 miliar, Musim mas US$1,5 miliar. Angka tersebut setara dengan Rp21 triliun dan Sinar mas memiliki Kekayaan bernilai US$8 miliar atau sama dengan Rp113 miliar.

Selain itu bertepatan dengan subsidi kepada industri biodiesel pemerintah juga menaikan pungutan CPO/dana sawit dari 50 USD /Ton menjadi 55 USD /Ton yang sudah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 57/PMK.05/2020 Tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Pungutan dana sawit ini yang sebelumnya 50 USD/ton sudah merugikan petani sawit melalui penurunan harga TBS sekitar Rp 120-150/kg, sehingga dengan kenaikan pungutan dana sawit akan kembali menambah penurunan harga TBS petani. 

Seharusnya yang dilakukan oleh pemerintah melakukan subsidi kepada petani sawit karena harga TBS petani sawit yang terus turun baik Sehingga disini terjadi ambigius yang mengaburkan subsidi industri biodiesel B30 dengan menghembuskan angin segar untuk kepentingan petani padahal menipu. Kalau
 
Pengusaha mau mengalami kerugian pemerintah melakukan 1.000 langkah untuk memperbaikinya, padahal petani bertahun-tahun mengalami kerugian sejak Januari 2018 hingga Oktober 2019 mengalami harga TBS tidak layak, tidak ada subsidi untuk petani.

Disini terjadi ambigius yang mengaburkan subsidi B30 dengan menghembuskan angin segar untuk kepentingan petani padahal menipu. Kenapa ini bisa terjadi? Ini akibat adanya oligarki politik dan oligarki korporasi, dimana oligarki korporasi telah menguasai oligarki politik sehingga regulasi ataupun kebijakan yang tidak menguntungkan pengusaha tidak akan terjadi dan pemerintah maupun partai politik akhir-akhir ini tidak berpihak pada rakyat.

Dari penanganan pemerintah untuk covid-19 dan penataan industry biodiesel, petani cendrung disingkirkan. Petani bahkan tidak terlibat sedikitpun dalam rantai pasok biodiesel karena rata- rata bahan baku untuk program B30 ini dipasok dari kebun yang dimiliki oleh perusahaan sendiri dan perusahaan pihak ketiga yang tidak memiliki industry biodiesel. 

Ini adalah program yang syarat kepentingan industry, bukan petani kelapa sawit. Petani kelapa sawit selalu dijadikan obyek oleh koorporasi biodiesel dengan mengklaim bahwa B30 untuk petani kelapa sawit padahal itu adalah bentuk penipuan yang nyata.

Nah, terkait dengan persoalan diatas, Persatuan organisasi petani sawit (POPSI) yang berangotakan organsiasi petani sawit di Indonesia yaitu Asosiasi Petani Sawit PIR (ASPEKPIR), Serikat Petani Petani kelapa Sawit Indonesia (SPKS), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Sawitku Masa Depanku (SAMADE), dan Jaringan Petani Sawit Berkelanjutan Indonesia (JaPSBI) menggelar kegiatan diskusi dan konferensi pers dengan mengambil tema 'Menyikapi Keputusan Pemerintah Terkait Subsidi APBN Bagi Industri Biodisel dan Kenaikan Tarif Pungutan Ekspor CPO', Jumat (5/6/2020).

Kegiatan yang digelar lewat zoom meeting tersebut dihadiri oleh Ir Gamal Nasir, Ketua Dewan Pembina POPSI, Mansuetus Darto, Sekjen Nasional SPKS, Setiyono, Ketua Umum Aspekpir Indonesia, Tolen Kateren, Ketua Umum Samade, Heri Susanto, Ketua Umum JaPSBI dan Sulaiman H Andi Loeloe, Sekjen DPP. Apkasindo Munas.

Dalam penjelasannya, Ir Gamal Nasir selaku Ketua Dewan Pembina POPSI menerangkan, untuk program Biodiesel B30 hingga B100 nanti, seyogyanya Industri Biodiesel harus mengambil TBS Petani sebagai bahan bakunya, agar hal ini bisa terlaksana maka Kementrian ESDM segera membuatkan payung hukumnya tentang Industri Biodiesel tersebut. 

"Diketahui selama ini bahwa Industri biodiesel itu disuarakan sebagai penopang atau menyangga harga TBS Peetani, nyatanya tak satu pun Industri tersebut mengambil bahan bakunya dari TBS Petani. Petani selalu tertekan karena harga pasar TBS petani tidak mempunyai nilai tawar," ujarnya.

Sementara itu, menurut Mansuetus Darto, Sekjen Nasional SPKS, apa yang dilakukan pemerintah dengan melakukan subsidi kepada industri biodiesel sangat tidak wajar karena saat ini yang menghadapi masalah dalam situasi wabah covid-19 adalah petani sawit di hulu dengan turunnya harga TBS disemua daerah.

"Seharunya pemerintah fokus untuk membantu petani sawit hingga akhir tahun mendatang dengan mengalokasikan dana BPDP-KS tersebut untuk disubsidi lansung ke petani melalui dana desa," sarannya.

Disisi lain, Setiyono selaku  Ketua Umum Aspekpir Indonesia menjelaskan saat ini harga minyak mentah sedang turun, jadi biodiesel sebaiknya distop dulu karena butuh dana yang besar. Lebih baik harga minyak mentah yang turun ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. 

"Anggaran biodiesel yang ditetapkan BPDPKS Rp4,5 triliun lebih baik dialihkan untuk petani baik peremajaan, memperbesar dana sarana dan prasarana, juga pelatihan SDM petani," terangnya.

Pemerintah tetap menjalankan program biodiesel dan untuk menambah kekurangan diambil dari APBN Rp2,78 triliun dan tambahan pajak ekspor Rp760 miliar. Demi biodiesel maka keluar PMK no 57/PMK05/2020 yang mengenakan pungutan USD55 perton ekspor CPO. Padahal sebelumnya pungutan berdasarkan harga CPO. Bila dibawah USD570/ton tidak dikenakan pungutan, USD570- USD619 dikenakan USD25/ton dan diatas USD619/ton dikenakan USD50/ton.
 
"Sekarang demi kelangsungan hidup pabrik biodiesel semua dirubah. Setelah pada tahun terakhir ini pungutan nol karena harga dibawah USD570 sekarang tiba-tiba dipungut dengan tingkatan harga tinggi pada masa lalu. Hal ini pasti akan berpengaruh pada petani karena PKS akan mebebankanya pada pembelian TBS petani. Indeks K yang mempengaruhi harga TBS akan berubah karena faktor ini," tambahnya.

Sementara itu, Tolen Kateren yang merupakan Ketua Umum Samade, mengatakan kita sebagai petani berterima kasih kepada pemerintah tetap memperhatikan sektor perkebunan khususnya sawit. Namun kita meminta pemerintah juga harus jeli melihat situasi dengan keadaan sekarang dimana harga minyak bumi jauh dibawah harga sawit sehingga subsidi B30 jauh lebih besar dibanding dengan penyaluran langsung ke petani sawit.

"Menurut kita sebagai petani, yang harus di subsidi adalah petani, bukan pengusaha yang sampai Rp 2,8 triliun dengan menambah pungutan terhadap export sawit. hal ini akan berdampak pada harga TBS Petani, sekarang saja sdh ada petani menerima harga TBS nya Rp.750,- per Kg," terangnya.

Apabila tetap di subsidi B30 kita minta pemerintah ikutkan petani dalam tata kelola biodiesel dengan memasukkan petani sebagai rantai pasok bahan baku B30, atau buatkan Industri Hilir utk petani yg memproduksi Biodiesel yg memenuhi kebutuhan dalam negeri.

"Dengan adanya pungutan export, kita sebagai petani meminta kepada bpdp untuk memberikan dana tersebut kepada petani sesuai porsi nya yaitu luasan kebun petani 41% dr total kebun sawit di indonesia atau 36% dari besarnya produksi CPO Indonesia, Kita mengusulkan Pengembalian dana tsb bisa dlm bentuk sarpras, umkm petani, pembiayaan legalitas kebun Petani dan penguatan kelembagaan petani. Sekarang ini Porsi B30 sebesar 80% dan yg lainya seperti PSR, Sarpras, Peningkatan SDM Petani dan Reset sebesar 20% apakah adil ini," paparnya.

Menaggapi malsah itu, Heri Susanto, Ketua Umum JaPSBI menjelaskan pemerintah mendukung penyiapan kelembagaan tani dan SDM petani sawit (tidak terbatas pada program PSR) melalui pelatihan/pendampingan manajemen dan praktek perkebunan terbaik kelapa sawit.

Kemudian memberdayakan sumberdaya lokal dari pegiat-pegiat sawit kecamatan/kabupaten sebagai pendamping/surveyor program PSR (pemberdayaan dapat dilakukan dengan pelatihan terlebih dahulu).

"Memfasilitasi pendirian PKS PKS mini (skala kecil) untuk petani sawit yang diberi akses khusus sebagai pemasok ke pabrik biodiesel, membuat kebijakan pemberian akses khusus pada petani sawit dalam pasokan kepada pabrik biodiesel (misalnya dengan pemberiaan kuota)," ujarnya.

Terakhir, Sulaiman H Andi Loeloe, Sekjen DPP. Apkasindo Munas, menyebut kenaikan pungutan BPDP sebesar 5 USD/Ton Pungutan BPDPKS merugikan petani, selain itu pungutan ini banyak dinikmati hanya oleh industri biodiesel. 

beberapa kebutuhan petani misalnya untuk PSR tidak banyak terealisasi dilapangan. Selain itu itu juga saat ini peningkatan SDM petani tidak lagi dilakukan. Untuk subsidi biodiesel seharunya ditagungkan dulu pada saat ini karena tidak lagi efisian lebih baik dana sawit untuk difokuskan untuk sektor hulu kepeteni sawit dengan menambah target PSR," pungkasnya.
 
Makanya, POPSI yang terdiri dari ASPEK-PIR, SPKS, SAMADE, APKASINDO, JAPSBI, mendesak kepada Presiden RI untuk :

1. Membatalkan subsidi 2,78 Triliun rupiah kepada industri biodiesel sebab industri tersebut adalah milik taipan sawit dengan memiliki kekayaan kurang lebih 60% dari APBN Indonesia dan dianggap mampu untuk menjalankan bisnisnya dari masalah covid-19 di Indonesia. Sebagaimana diketahui, Malaysia membatalkan program pengembangan Biodiesel 20%-nya karena mempertimbangkan ekonomi negara.

2. Membatalkan kenaikkan pungutan sawit dari 50 dollar menjadi 55 dollar sama halnya membunuh petani kelapa sawit di tengah covid-19. Sebab potongan bagi CPO (Crude Palm Oil), akan makin menurunkan harga TBS petani.

3. Alihkan dana BPDP-KS yang dipergunakan untuk industri biodiesel untuk subsidi lansung kepada petani kelapa sawit melalui pembiayaan industri hilir petani dan UKM Sawit, sebagai bentuk perlindungan negara atas gejolak harga pasar ditingkat petani kelapa sawit.

4. Hentikan pembangunan perkebunan skala besar yang dimiliki oleh Taipan sawit dan perusahaan perkebunan untuk mencegah over supply. Program B30 adalah akibat dari salah urus dalam tata kelola sawit Indonesia dengan membiarkan taipan sawit memperluas lahan dan subsidi yang terus digulirkan bagi mereka.

5. Segera lakukan audit secara langsung bagi industri biodiesel yang selama ini memperoleh subsidi dari pemerintah melalui dana yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

6. Libatkan petani kelapa sawit Indonesia dalam rantai pasok dalam program B30, sebab program ini hanya makin memperkaya taipan sawit dan konco-konconya dalam industri sawit Indonesia.

7. BPDPKS agar membiayai Pra ISPO untuk petani kelapa Sawit dengan dasar menjalankan Perpres 144 Tahun 2020 meliputi Pembiayaan untuk legalitas petani, pembiayaan untuk pendampingan petani dan pembiayaan sertifikasi ISPO. (Rls)

Listrik Indonesia

#Kelapa Sawit

Index

Berita Lainnya

Index