Kamu Harus Tahu, Jika RUU Redenominasi Rupiah Tak 'Kandas',  Kedepan Nilai Rp 1.000 Jadi Rp 1 Lho!

Kamu Harus Tahu, Jika RUU Redenominasi Rupiah  Tak 'Kandas',  Kedepan  Nilai Rp 1.000  Jadi Rp 1 Lho!
Ilustrasi uang rupiah. Sumber Foto: mpssoft.co.id

JAKARTA (RIAUSKY.COM)- Rancangan Undang-undang tentang Redenominasi Rupiah kembali mencuat. Hal ini tertuang di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024.

Untuk diketahui, pada 2017 merupakan pertama kalinya Kementerian Keuangan bersama Bank Indonesia (BI) mengajukan RUU Redenominasi Mata Uang.

Saat itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani bersama Gubernur Indonesia (periode 2013-2018) Agus DW Martowardojo mengajukan permohanan langsung RUU Redemoninasi Mata Uang kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka, Jakarta.

Respons Presiden Jokowi dikabarkan kala itu menyambut baik dan siap untuk dibicarakan oleh para legislator atau dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sayangnya, sampai sejak 2018 hingga 2020, RUU Redenominasi tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas).

Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun, yang sudah dua periode menduduki kursi DPR mengatakan, selama ini RUU Redenominasi tidak pernah sama sekali dibahas antara Kemenkeu dan BI bersama mitranya, Komisi XI DPR.

Misbakhun memandang, ide soal redenominasi rupiah merupakan ide yang bagus dalam rangka menyederhanakan jumlah nol dalam tingkat rupiah.

"Kita yang bisa memberikan gambaran yang lebih riil dalam rangka memperkuat kredibilitas rupiah yang bisa mencerminkan kekuatan fundamental ekonomi Indonesia," kata Misbkahun kepada CNBC Indonesia, Senin (6/7/2020).

Menurut Misbakhun, pemerintah sebenarnya bisa saja untuk bisa mengusulkan RUU Redenominasi masuk ke dalam Prolegnas 2020 untuk segera dibahas.

"Soal RUU-nya selama ini belum pernah dibahas di Komisi XI. Kalau pemerintah mau cepat bisa memasukkan RUU Redenominasi ke dalam Prolegnas Prioritas 2020 untuk segera dibahas," ujarnya.

Perubahan harga rupiah ini pernah dijelaskan lengkap dalam kajian Bank Indonesia (BI). Redenominasi bukanlah sanering atau pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang.

Redenominasi biasanya dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil dan menuju kearah yang lebih sehat. Sedangkan sanering adalah pemotongan uang dalam kondisi perekonomian yang tidak sehat, dimana yang dipotong hanya nilai uangnya.

Dalam redenominasi, baik nilai uang maupun barang, hanya dihilangkan beberapa angka nolnya saja. Dengan demikian, redenominasi akan menyederhanakan penulisan nilai barang dan jasa yang diikuti pula penyederhanaan penulisan alat pembayaran (uang).

Selanjutnya, hal ini akan menyederhanakan sistem akuntansi dalam sistem pembayaran tanpa menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.

Bank Indonesia memandang bahwa keberhasilan redenominasi sangat ditentukan oleh berbagai hal yang saat ini tengah dikaji sebagaimana yang telah dilakukan oleh beberapa negara yang berhasil melakukannya.

Pengalaman negara lain menunjukkan keberhasilan redenominasi menuntut stabilitas makroekonomi, inflasi yang terkendali, nilai tukar mata uang, dan kondisi fiskal.

Asal tahu saja, pada 2010, Bank Indonesia (BI) sebenarnya sudah pernah merencanakan lima tahapan pelaksanaan redenominasi rupiah. Pada tahap pertama, yaitu pada 2010, BI melakukan studi banding tentang redenominasi di beberapa negara.

Tahap kedua, tepatnya pada 2011-2012 merupakan masa sosialisasi. Tahap ketiga (2013-2015) merupakan masa transisi ketika ada dua kuotasi penyebutan nominal uang.

Kemudian pada tahap keempat atau tepatnya 2016-2018, BI akan memastikan uang lama yang belum dipotong jumlah nolnya akan benar-benar habis dengan batas penarikan pada 2018.

Pada tahun 2019-2020, merupakan tahap kelima sebagai tahap terakhir, keterangan baru dalam uang cetakan baru akan dihilangkan. Masyarakat siap melakukan pembayaran dengan uang yang telah diredenominasi.

Kemenkeu mencatat setidaknya ada dua alasan mengapa penyederhanaan nilai mata uang rupiah harus dilakukan. Pertama, untuk menimbulkan efisiensi berupa percepatan waktu transaksi, berkurangnya risiko human error, dan efisiensi pencantuman harga barang/jasa karena sederhananya jumlah digit Rupiah.

Kedua, untuk menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi dan pelaporan APBN karena tidak banyaknya atau berkurangnya jumlah digit Rupiah.(R04)


Sumber Berita: cnbcindonesia.com
 

Listrik Indonesia

Berita Lainnya

Index