NGERI...Demi Buah Jernang Seharga Rp 250 Ribu per Kg, Mus dan Syaiful Berani Menghadapi Beruang, Gajah dan Harimau di Hutan

Selasa, 20 Maret 2018 | 16:35:04 WIB
Saiful dengan buah Jernang yang menjadi sumber penghasilannya

RIAUSKY.COM - Mus Mulyadi (42), warga Desa Keude Paya Bakong, Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara, adalah satu dari puluhan petani yang rutin mencari jernang dalam hutan belantara sejak 2012.

Kendati penuh risiko karena sering berhadapan dengan binatang buas, tapi Mus Mulyadi sampai kini masih terus mencari jernang. Ini dilakukan karena hasil mencari jernang mampu menafkahi keluarganya.

Jernang adalah sejenis resin yang dihasilkan dari beberapa spesies rotan dari marga Daemonorops. Resin berwarna merah ini telah sejak lama diperdagangkan dan dimanfaatkan sebagai bahan pewarna, dupa, dan bahan obat tradisional. Resin ini juga dikenal sebagai dragon blood atau dragon's blood (darah naga) di dunia internasional.

Jika buah jernang diproses menjadi tepung, harga tepung jernang berkualitas tinggi mencapai Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta per kilogram. Sementara harga per kilonya untuk jernang super bisa mencapai Rp 250 ribu.

Selain itu, tak ada sumber pendapatan lain yang harus ditekuni Mus Mulyadi. Awalnya ia mengaku hanya mendengar saja tentang jernang. Lalu pada suatu hari ia meminta bergabung dengan sekelompok warga yang setiap dua kali sebulan mencari jernang ke hutan.

Namun, di lain waktu, Mulyadi memberanikan diri bersolo karier. "Tidak ada pekerjaan lain di gampong yang bisa menghasilkan. Sehingga meskipun sendiri ya harus memberanikan diri," ujar ayah dua anak itu kepada Serambi, kemarin.

Untuk sampai ke hutan yang ditumbuhi jernang, membutuhkan waktu sehari berjalan kaki. Sehingga harus membawa bekal berupa beras, air, periuk, dan kebutuhan lain untuk memasak. "Kalau ikan bisa kami dapatkan dengan mencari di sungai, dengan memancing atau menjala," katanya.

Biasanya kalau berangkat pagi, sore baru sampai ke kawasan hutan yang ada jernang. Setelah menginap semalam, esoknya baru mencari target. Dia mengaku memiliki pengalaman mendebarkan ketika mencari jernang sendiri.

Suatu waktu, saat sedang berjalan di hutan, dia diadang seekor beruang. "Jarak dengan saya hanya tiga meter," katanya.

Meski kaget, dia tidak lari, tapi terus menatap beruang tersebut sambil mundur pelan-pelan dengan tangan mengayunkan parang ke arah binatang buas itu. Tapi beruang tersebut tidak langsung kabur, terus ‘menggertak’ Mulyadi dengan tatapan mata yang tajam. Namun, tatapan mata Mulyadi mungkin lebih tajam hingga binatang itu kabur.

Sebelum kejadian tersebut, duda beranak dua tersebut juga pernah bertemu dengan kawanan gajah. "Ketika saya sedang beristirahat di sebuah pondok dalam hutan, tiba-tiba didatangi kawanan gajah. Saya tak bisa kabur lagi. Saya tetap bertahan, alhamdulillah saya tidak diganggu. Malah yang dirusak kawanan gajah tersebut pondok milik perambah hutan," kenang Mulyadi.

Anehnya, lanjut Mulyadi, pondok tempat dia berlindung dijaga gajah sampai pagi. "Setelah merusak pondok lain di sekitar saya, kawanan gajah itu tidur di sekeliling pondok saya. Saat itu saya sudah pasrah, tapi alhamdulillah saya selamat. Paginya kawanan gajah itu pergi," katanya.

Mulyadi juga memiliki pengalaman bertemu dengan harimau ketika dirinya tersesat dalam hutan. Ia sempat melihat harimau dari bagian belakang sambil mencakar batang kayu seperti memberi arah petunjuk.

"Saya pernah mendengar pengalaman orang lain. Kalau tersesat di hutan, lalu berjumpa harimau. Ikuti saja harimau tersebut dari jarak jauh. Itulah yang saya lakukan hingga saya menemukan tempat pemberhentian yang aman," katanya seperti dilansir Tribun.

Meski penuh tantangan, Mulyadi tetap menekuni profesinya sebagai pencari jernang. Apalagi sekarang harga jernang untuk buah super atau sebesar guli mencapai Rp 450.000/kilogram. Sedangkan buah biasa, sekitar Rp 250.000.

Dia bisa mendapatkan hasil untuk sekali menjelajah belantara sekitar 5 sampai 10 kilogram, tapi juga pernah pulang dengan tangan kosong. "Sekarang semakin sulit mencari jernang, karena semakin banyak yang menjalani pekerjaan itu. Selain itu banyak pohon jernang ditebang, sehingga semakin langka," katanya.

Ia berharap pemerintah bisa memberikan bantuan kepada petani untuk membudidayakan, sehingga tidak perlu merambah belantara yang penuh tantangan. "Kalau diberi pilihan menanam seperti pinang, kakao, dan kelapa sawit, saya akan lebih memilih jernang," kata Mulyadi.

Pencari jernang lain, Saiful Armansyah (32), warga Gampong Panton Rayeuk, Kecamatan Banda Alam, Aceh Timur sudah berburu jernang sejak tujuh tahun lalu. Hampir semua belantara Aceh sudah dijelajahinya.

Saiful mengenali jernang dari kakak kandungnya, Gunadi, warga Paya Bakong, Aceh Utara. Sedangkan sang kakak mendapatkan pengetahuan itu dari ayah dan pakciknya, Armaya Wiyadi dan Raman Surya, suku Gayo dari Bener Meriah.

"Nama tumbuhannya semua disebut rotan, tapi rotan itu ada jenis jernang yaitu jernang padi atau kacang, jernang ipoh atau gajah, dan jernang super. Nah yang paling dicari pemburu itu adalah jernang super," kata Saiful dalam bincang-bincang soal jernang dengan Serambi, beberapa hari lalu.

Menurut Saiful perjalanan untuk mencapai lokasi pencarian jernang bisa dua hari satu malam. "Kalau berangkat pagi di perjalanan nginap semalam, kemudian esok paginya berangkat lagi sampai ke tujuan," katanya.

Saiful mengaku sudah mencari jernang dari 2010 hingga 2016 dan sudah menjelajahi kawasan hutan Aceh Timur sampai Lokop, Aceh Utara, Lhokseumawe, Samarkilang (Bener Meriah), Gunung Goh Bireun, Beutong, Alubilie, Blang Tadu (Nagan Raya), dan kawasan Leuser.

"Biasanya kami pergi melalui jalan raya, lalu masuk ke perkampungan yang berdekatan dengan hutan. Kami temui perangkat gampong dan mengajak warga setempat jika ada yang mau masuk hutan mencari jernang. Kalau tidak ada yang mau pergi, saya pergi sendiri," jelas Saiful.

Misi pencarian jernang bisa mencapai 15 hingga 25 hari di dalam hutan. "Hasilnya kadang-kadang lumayan dan kadang-kadang hanya cukup ongkos pulang dan bayar utang belanja kepada tauke. Karena kalau nggak ada modal kadang-kadang belanja didanai oleh tauke," jelas Saiful.

Jika buah jernang diproses menjadi tepung, harga tepung jernang berkualitas tinggi mencapai Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta per kilogram. "Sekarang susah mendapatkan jernang super, karena sudah banyak warga yang melakoni profesi itu," jelas Saiful.

Sejak 2013, Saiful mengaku sudah menanam 20-an batang jernang super di areal belakang rumahnya dan kini sudah mulai berbuah. Biasanya 2 sampai 3 bulan sejak berbunga buahnya sudah bisa dipanen.

Biasanya berbunga awal tahun dan kalau buahnya sudah sebesar biji kopi atau cekokak sudah bisa dipanen. "Namun saya belum mengerti penuh cara merawat dan mengembangkannya," kata Saiful.

Seperti pengakuan pemburu jernang lainnya, Saiful juga sering berhadapan dengan binatang buas saat berada di hutan. "Tapi binatang-binatang itu tidak mengganggu," ujarnya.

Cara mengatasi agar tidak diganggu binatang buas, jelas Saiful, jika di camp harus hidupkan api unggun. Kalau sudah ada asap, binatang buas tidak akan mendekat.

Pada dasarnya, kata Saiful, ia juga takut dengan segala risiko yang kemungkinan terjadi di hutan. Namun, karena hasil penjualan jernang yang menggiurkan membuat ia tetap semangat. 

"Meski takut tapi kalau sudah di hutan rasa takut itu hilang. Apalagi hasilnya sangat memuaskan, karena saat dijual dibayar tunai dengan harga yang sangat memuaskan. Pembeli juga berebut," kata Saiful. (*)

Terkini