Harga Karet tak Menjanjikan, Warga Riau di Perbatasan Malaysia Pilih Berjuang Sebagai TKI Ilegal

Harga Karet tak Menjanjikan, Warga Riau di Perbatasan Malaysia Pilih Berjuang Sebagai TKI Ilegal
Seorang petani menderes batang karet.

SELATPANJANG (RIAUSKY.COM)- Masyarakat Kepulauan Meranti, Riau, yang umumnya bekerja sebagai penderes getah, beberapa tahun belakangan ini terpaksa harus hilir mudik ke Malaysia untuk mencari nafkah.

Kondisi tersebut tersebab hasil getah di daerah itu tidak lagi menjanjikan bagi kehidupan masyarakat desa. 

Seperti pengakuan Ramli, warga Desa Kayu Ara Kecamatan Rangsang Pesisir, Sabtu pekan lalu. 

Ia dan temannya terpaksa mencari kerja di Malaysia. Karena beberapa tahun belakangan ini harga 1 Kg getah di Meranti tidak mampu membeli satu kilo beras.

Satu kilo getah selama ini hanya berkisar Rp3.000 hingga Rp4.000 perkilo. Sedangkan beras paling murah suah Rp.9.000/ kg. Itu artinya hasil getah sekilo tidak dapat membeli beras satu kilo. 

"Jadi para pemuda dan pria yang sudah berkeluarga terpaksa merantau ke negara jiran untuk menjamin dapur tetap berasap," katanya.

Ia katakan, selain harga yang sudah terjun tersebut, juga diperparah oleh tingginya curah hujan yang terjadi belakangan ini. Sementara anak dan istri tidak bisa ditunda dalam kebutuhan makan setiap hari. 

Apapun yang terjadi, menurut dia perut harus tetap diisi. Apalagi anak sudah ada yang sekolah, mau tidak mau harus ada uang beli buku maupun peralatan sekolah termasuk uang jajan. 

"Jadi walau dengan cara haram kata orang seberang masuk ke Malaysia, hal itu terpaksa kami lakukan, jika tidak ingin mati kelaparan di kampung ini," katanya lagi 

Ramli menyebutkan, entah sampai kapan harga getah akan membaik, hal itu tidak bisa dipastikan. Sebab semua harga komoditas pertanian dan perkebunan itu terutama di kampungn kita ini ditentukan sepenuhnya oleh para tengkulak-tengkulak.

Untuk itulah masyarakat desa dari dulu berharap kepada pemerintah agar mampu menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan ini.

Apakah membuka lahan perkebunan seperti kebun nanas atau komoditi lainnya. Sehingga selain menjadi daerah produsen, masyarakat Meranti nantinya akan mendapat kesempatan kerja.

"Kami di desa ini menunggu kebijakan pemerintah, untuk menolong masyarakat sebab jika toh pemerintah tidak kunjung membuka lapangan kerja, maka selamanya kami yang tidak memiliki sekolah yang cukup ini, akan selamanya menjadi TKI ilegal di negara tetangga itu," katanya.

Menjadi TKI Ilegal di Malaysia, lanjut dia, memiliki cerita trauma dan tragis.

Kadang, katanya, harus lari ke hutan di tengah malam gelap gulita, untuk menghidari kejaran Polisi.

"Atau kadang upah kerja tidak dibayar majikan, jika tidak ingin keberadaan kami diketahui polisi setempat. 

Banyak dukanya dari pada suka, apalagi setiap pulang dan perginya senantiasa mempertaruhkan nyawa di tengah laut," kata dia mengakhiri.(*/rbc) 

Listrik Indonesia

Berita Lainnya

Index