OPINI: Siti Nurbaya... Oh...Siti Nurbaya...Menanam Duka di Wajah Industri HTI

OPINI: Siti Nurbaya... Oh...Siti Nurbaya...Menanam Duka di Wajah Industri HTI
Pembibitan tanaman industri milik salah satu perusahaan yang bergerak dalam sektor kehutanan.

Hari ini, seluruh pemberitaan media ramai dengan keputusan majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menolak  gugatan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) terhadap SK 5322 soal pembatalan Rancangan Kerja Usaha periode 2010-2019.

Keputusan tersebut berarti, PT RAPP harus berjalan sesuai dengan Surat Keputusan yang merupakan produk turunan dari Peraturan Menteri (Permen) tentang konservasi lahan gambut. 

Bagi PT RAPP tentu saja ini sebuah keputusan yang harus diterima sebagai konsekuensi dari proses hukum dan  administratif yang dilakukan. Dan secara gamlang,  melalui rilisnya, PT RAPP menyatakan taat pada keputusan hukum yang berlaku, meski di sisi lain hal tersebut tentunya akan berimplikasi besar pada  operasional perusahaan, termasuk kehidupan ratusan ribu orang yang menggantungkan hidupnya pada industri pulp and paper bermarkas di Kota Pangkalan Kerinci ini. 

''PT Riau Andalan Pulp & Paper (PT.RAPP) menghormati putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta hari ini. PT RAPP bermaksud melakukan penyesuaian Rencana Kerja Usaha (RKU) Perusahaan sesuai arahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dengan adanya revisi RKU yang baru, dampak terhadap kegiatan usaha kami akan cukup besar. Namun demikian, kami akan tetap mematuhi arahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan," ujar Agung Laksamana, Corporate Affairs Director RAPP dalam rilis yang diterbitkan di sejumlah besar media di Riau.

Tak lupa, pada penjelasannya, manajemen PT RAPP menyampaikan komitmennya akan terus mendukung tujuan–tujuan pembangunan berkelanjutan dan upaya pemerintah dalam mengurangi dampak perubahan iklim dengan melakukan investasi secara signifikan terkait konservasi dan restorasi lahan gambut.

Namun yang tak kalah seru juga adalah penjelasan dari sejumlah pihak yang menanggap keputusan itu adalah sebuah bentuk kemenangan masyarakat terhadap sebuah perusahaan yang menurut mereka selama ini diklaim sebagai perusahaan perusak hutan, perebut hak masyarakat dan aneka kesalahan  yang dinilai secara massif termasuk diantaranya menyebabkan kerusakan ekosistem gambut. 

Pro kontra terkait keputusan tersebut tentunya akan terus menjadi pembahasan panjang hingga menemukan keputusan hukum tetap yang mendudukkan kebijakan seperti apa yang bisa dan berhak untuk dilaksanakan di atas ratusan ribu lahan gambut yang selama ini berada di bawah pengusahaan perusahaan.

Dalam konteks ini, saya menganggap keputusan tersebut adalah bentuk dari wajah hukum yang harus dipatuhi oleh pihak manapun, tak terkecuali PT RAPP, meski secara riil ini akan berimplikasi pada berkurangnya secara drastis wilayah operasional yang selama ini dikelola oleh perusahaan.

Namun, apakah keputusan ini mencerminkan sebuah kebenaran secara utuh, atau malah sebaliknya? Dalam sebuah kesempatan, anggota DPRD Riau, Suhardiman Amby balik menyayangkan kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dianggap telah menzolimi PT RAPP.

Sekretaris Komisi III DPRD Riau yang juga berada di Tim penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Riau ini menilai, seperti ada upaya mematikan usaha dari pihak RAPP yang dilakukan oleh pihak menteri yang menurutnya berkongkalikong dengan pihak NGO.

"Saya heran, mengapa yang dilirik hanya RAPP, sementara ada yang ilegal seluas 1 juta hektare seperti dipelihara, dan dibiarkan. Saya mencurigai, seperti ada upaya untuk mengambil alih lahan RAPP. Kalau memang profesional, harusnya diperlakukan sama dan adil semua perusahaan. Saya bukan dalam hal membela RAPP, tapi kalau kita lihat, ada tujuan tertentu dibalik masalah ini," ujar Suhardiman seperti dituliskan tribun Pekanbaru, Minggu (17 Desember 2017).

Terlepas dari pernyataan Suhardiman Amby tersebut, saya merasa memang banyak hal yang patut menimbulkan tanda tanya dari keputusan Kementerian LHK terkait revisi RKU PT RAPP yang sudah diterbitkan semenjak delapan tahun lalu, dan akan segera berakhir pada 2019 yang akan datang. 

Kebijakan KLHK menerbitkan SK 5322 tentang pembatalan RKU tersebut bahkan nyaris tidak mempertimbangkan upaya-upaya yang telah dilakukan perusahaan dalam investasi, program mendukung upaya penyelamatan lingkungan, termasuk diantaranya mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan. 

Sebelumnya, maaf, saya tidak ingin menyinggung perihal total investasi sebesar Rp15 triliun yang sudah dirancang oleh perusahaan milik pengusaha Sukanto Tanoto ini, karena terkesan akan sangat membela perusahaan.

Saya lebih tertarik memabahas sub topik yang sering mengedepan dalam proses pembatalan RKU tersebut, salah satunya terkait kebakaran hutan dan lahan yang sering dikaitkan dengan aktivitas PT RAPP. 

Munculnya pembahasan di ruang publik  bahwa RAPP terlibat secara massif dalam kasus kebakaran hutan dan lahan di Riau seakan kontra aktif bila dilihat dari kacamata aksi dan upaya yang dilakukan perusahaan ini dalam upaya penanggulangan Karhutla di Riau. 

Bahkan, saya pun berani memastikan kalau di Riau bahkan di Indonesia sekali pun yang dilakukan kementerian LHK tidak akan mampu mengimbangi upaya PT RAPP untuk mencegah bencana berulang hampir setiap tahun di Provinsi Riau. 

Benarkah RAPP membakar hutan dan lahan? Jawabnya tentu saja sangat mustahil untuk dibenarkan. Karena, aktivitas usaha RAPP berada di areal gambut dan secara teknis perusahaan ini sangat tahu potensikebakaran di areal gambut.

Karena itulah, selain volunteering menggunakan para karyawannya sebagai pejuang api, RAPP juga melibatkan seluruh komponen masyarakat untuk melawan api, mencegah kebakaran hutan dan lahan. 

Bahkan, hanya RAPP satu-satunya perusahaan yang memberikan penghargaan berupa bonus kepada masyarakat yang berhasil mengantisipasi terulangnya kebakaran hutan dan lahan di wilayahnya.

Bahkan, PT RAPP melalui pejuang apinya bahkan terlibat secara massif dalam banyak aktivitas pencegahan kebakaran hutan dan lahan di seluruh wilayah Riau yang bahkan tidak bersinggungan dengan areal usahanya.

Lantas, ada apa sebenarnya dengan RAPP sehingga nasibnya sedemikian buruk menjadi objek penyalahan bahkan dianggap sebagai simbol perlawanan korporasi di di sektor kehutanan terhadap negara? Benarkah RAPP tidak pro terhadap upaya pelestarian ekosistem gambut yang mulai beken dibahas dalam lima hingga tujuh  tahun terakhir?


Dari catatan yang saya rangkum, permasalahan gambut mulai mencuat manakala kebakaran hutan mulai sering terjadi di Riau. Istilah gambut mengedepan karena, dengan gampangnya, lahan yang ada terbakar. Lahan tersebut terbakar karena dianggap mengalami kekeringan karena dikelola secara salah, bahkan cenderung eksploitatif. 

Benarkah RAPP menghabisi gambut? sejauh ini, belum ada penjelasan yang paling komprehensif yang bisa membuktikan menurunnya luas areal gambut di areal perusahaan. Namun, sebuah fenomena keterbatasan lahan untuk aktivitas publik, secara perlahan tapi pasti menjadi 'perang' terbesar lahan gambut. 

Ya, pasca 2007, upaya perburuan lahan untuk perkebunan demikian gencar di Riau. Luasnya bahkan mendekati jutaan hektare. Ada yang didapatkan secara legal dengan mengantongi izin untuk penebangan kayu seperti IPK, ada juga yang didapatkan secara ilegal dengan perambahan liar. 

Saat itu, istilah gambut belumlah di kenal, sehingga, kemudian, upaya okupasi lahan demikian mengerikan. Deforestasi lahan terjadi demikian parah hingga periode 2010. Hingga kemudian pemerintah melalui Kapolda Riau menyatakan perang terhadap kebakaran hutan dan lahan juga illegal logging. Lahan mana yang ditebangi dan dibakar untuk okupasi lahan menuju perkebunan kelapa sawit itu? jawabnya gambut. 

Dalam beberapa kasus kebakaran hutan dan lahan yang ditangani oleh pihak kepolisian, dapat dipastikan juga, kalau kebakaran di areal gambut dilakukan secara sengaja oleh pihak-pihak yang ingin menguasai lahan untuk dikembangkan sebagai areal perkebunan. 

Hal tersebut terbukti dari banyak temuan kalau pasca kebakaran hutan dan lahan di Riau, terjadi alih fungsi lahan secara massif dari kawasan hutan menjadi perkebunan.

Dalam banyak kasus yang terjadi di Riau, yang tertangkap melakukan pembakaran hutan dan lahan tersebut adalah masyarakat. Namun, dalam praktiknya, hampir mayoritas kawasan hutan yang terbakar kemudian dikuasai oleh korporasi yang berlindung dibalik nama masyarakat ataupun koperasi masyarakat tempatan.

Tidak dinafikan, dalam beberapa periode, terjadi kebakaran di areal perusahaan khususnya Hutan Tanaman Industri (HTI). Namun, sungguh aneh bila kebakaran tersebut dianggap sebagai sebuah kesengajaan, karena jelas, tidak akan ada industri yang mau membakar usahanya dengan alasan apapun.

Kementerian LHK dalam beberapa periodesasi menteri sesungguhnya mengetahui betu persoalan tingginya minat masyarakat dan para cukong untuk melakukan okupasi lahan di  wilayah SUmatera seperti Riau, Jambi, Sumsel dan Sumatera Utara. Sehingga, dapat dipastikan, di empat propinsi di Sumatera ini, kebakaran hutan dan lahan sering sekali terjadi. Lantas, masihkah industri kehutannan dianggap sebagai pemusnah hutan?

Hampir sebagian besar aktivitas usaha HTI berdiri di atas areal hutan produksi. Artinya, mereka bergerak di areal hutan yang secara regulasi dibenarkan untuk dikelola untuk aktivitas usaha di bidang kehutanan. 

Aktivitas usaha dibidang kehutanan mempunyai kewajiban melakukan konservasi untuk kawasan yang mengandung High conservation, termasuk kawasan lindung yang berada di sekitar areal usahanya. Usaha kehutanan juga tidak dibenarkan melakukan alih fungsi lahan sesuai dengan izin dan peruntukan kawasan. 

Sayangnya, seluruh fakta-fakta tersebut menjadi buyar manakala pemerintah dan sejumlah aktivis Non Governmental Organization (NGO) balik menyerang industri HTI sebagai penyebab punah ranahnya hutan dan areal konservasi. Fenomena pemutarbalikan fakta ini memang sungguh membuat sesak dada.

 

HTI Mengawal Fungsi Hutan

Aktivitas usaha di bidang kehutanan tidak akan mengalihfungsikan kawasan hutan menjadi peruntukan lainnya. Bagi aktivitas HTI, hutan tetaplah hutan.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan usaha perkebunan kelapa sawit yang mengalihfungsikan kawasan dari hutan menjadi sawit. Dari anak sungai menjadi sawit. Bahkan kawasan lindung menjadi perkebunan sawit. 

Anehnya, fakta terbuka seperti itu seakan tak hendak tersentuh oleh apara pegiat lingkungan bahkan kementerian LHK. Saya tertarik dengan upaya mengembalikan kawasan hutan di sekitaran Taman Nasional Tesso Nilo yang dilakukan KLHK dalam beberapa periode kementerian. Namun, kebijakan tersebut bahkan tak mampu menyentuh akar penyelesaian permasalahan. Ibaratnya, hari ini KLHK mencabut 300 batang sawit di dalam kawasan, besok ada 30.000 batang sawit berdiri. Hutan pun binasa. 

Begitu pun untuk kawasan hutan lainnya seperti Rimbang Baling, Bukit Tigapuluh, Mahato bahkan kawasan hutan Sultan Syarif Kasim di Minas yang ada di depan mata, sudah beralih fungsi menjadi areal perkebunan. 

Pada akhirnya muncul kesimpulan dikepala saya kalau hutan Riau bukan binasa oleh Hutan Tanaman Industri, melainkan oleh tingginya tingkat keserakahan publik dalam hal ini, masyarakat yang dimodali para cukong untuk menguasai areal kawasan hutan menjadi perkebunan dan peruntukan lainnya. 

Lantas, dimana peran usaha HTI dalam mendukung konservasi kawasan hutan? Saya tertarik mengupas kepedulian PT Sinar Mas menjadi pengawal Cagar Biosfer Giam Siak Kecil. Kebedulian RAPP yang mempertahankan habitat gajah di Flying Squad di Tesso Nilo. Apakah upaya tersebut dilakukan oleh para perambah liar dan toke yang berlindung dibalik masyarakat? 

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus berputar di kelapa saya, mengingat, semenjak pertama sekali menjadi jurnalis, pada era 1999 saya berada di tengah hiruk pikuk rakusnya kekuasaan dan pemilik modal  dalam meluluhlantakkan hutan Riau. 

Pelepasan kawasan hutan semikian marak dan masyarakat melucuti hutan dengan pola tradisional dengan cara membakar. Setiap menjelang pemilihan presiden, tarik ulur perizinan untuk sektor kehutanan seolah menjadi magnet bagi kekuasaan. 

Bahkan, penerbitan IPK besar-besaran juga pernah diinisiasi oleh Kementerian Kehutanan melalui kanwil Kehutanan di Provinsi Riau yang mana, saat ini, areal IPK tersebut dapat dipastikan hampir mendekati 90 persen telah beralih fungsi menjadi kawasan non hutan.

Perusahaan HTI seperti RAPP dan Arara Abadi (Sinar Mas) sejauh ini adalah industri yang konsisten mempertahankan aktivitas usahanya di bidang kehutanan. Di tengah gempuran internasional tentang illegal logging, dua industri kayu raksasa di Riau ini menunjukkan komitmennya dengan membangun hutan industri berbahan  acacia manguium (akasia) dan eucalyptus. 

Upaya ini berhasil menjawab keresahan masyarakat internasional tentang tingginya laju deforestasi hutan alam di Indonesia (Riau dan kalimantan) saat itu. Bahkan, secara perlahan tapi pasti, melalui RKU yang disusun, kedua industri ini menjadi dua dari 10 industri kehutanan terbesar dunia yang menghasilkan aneka kertas berkualitas yang dipasarkan hingga ke penjuru dunia. 

Banggakah Indonesia? ternyata jawabnya tidak. Hal tersebut dibuktikan dengan deraan silih berganti terhadap dua industri tersebut. Bahkan, pemerintah Indonesia dengan sukarela mengesekusi aktivitas usaha dua industri kehutanan tersebut melalui revisi RKU yang harusnya dilakukan sekali dalam sepuluh tahun dengan modus penyelamatan gambut. 

Fakta membuktikan, sejauh ini, kerusakan gambut Riau tidak terjadi dikarenakan aktivitas industri semata. Bahkan, mayoritas terjadi dikarenakan keserakahan kelompok orang dalam menguasai lahan dengan mengatasnamakan masyarakat dan aksi solidaritas publik untuk penyelamatan hutan. Sungguh aneh, bila baru dalam hitungan jam keputusan PTUN, salah satu lembaga pemerhati gambut bahkan sudah langsung bersuara lantang akan menyerahkan pengusahaan hutan yang selama ini dikelola RAPP  kepada masyarakat dengan mengatasnamakan hutan sosial kemasyarakatan.

Saya tidak ingin mengungkapkan sikap skeptis atas permintaan tersebut. Karena, fakta tersebut sepertinya tidak butuh waktu lama untuk membuktikannya.Dan semoga, ibu Menteri KLHK Siti Nurbaya tidak salah dalam membuat keputusan yang dampaknya akan segera dirasakan oleh masyarakat Riau segera.(Buddy Syafwan/Jurnalis di www.riausky.com) 

  


 

Listrik Indonesia

Berita Lainnya

Index