GBHN, DPD dan Aktualisasi Amandemen UUD 1945

GBHN, DPD dan Aktualisasi Amandemen UUD 1945
Masnur Marzuki
SALAH satu poin penting pidato yang disampaikan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Puteri dan Presiden Jokowi pada helat Rakernas PDIP di Jakarta beberapa waktu lalu adalah kesepahaman dan sikap politik PDIP yang mendorong perlunya menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
 
Gagasan PDIP soal GBHN yang didukung Presiden Jokowi bukanlah tanpa alasan. Sejatinya gagasan soal GBHN didoring kondisi kekinian di mana pembangunan nasional mencapai tujuan negara --melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social-- seperti bergerak tanpa arah.
 
Dewasa ini di segala sektor kehidupan tidak hanya muncul ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial, tetapi juga kegaduhan politik dan potensi kemunduran berdemokrasi.
 
Tak ayal, gagasan menghidupkan kembali GHBN merupakan pintu pembuka alternatif akan dimulainya agenda perubahan UUD NRI 1945. Meskipun gagasan menghidupkan GBHN tersebut membuka celah besar akan bergulirnya amandemen UUD, namun berbagai respon publik baik dukungan dan juga resistensi pun kini mulai bermunculan. 
 
Respon publik terkait wacana menghidupkan kembali GBHN dan gagasan mengamendemen UUD terbelah setidaknya menjadi empat kelompok. Pertama, kelompok yang setuju GBHN dihidupkan dengan cara amandemen sekaligus mengubah beberapa isu krusial yang selama ini masih jadi 'pekerjaan rumah' akibat dinamika ketatanegaraan. Kedua, fakta adanya suara yang setuju dihidupkan GBHN namun mewanti-wanti jangan sampai amandemen sampai 'kebablasan'. Kelompok ini mendukung GBHN dan amandemen tapi ekslusif hanya soal menghidupkan GBHN, tidak menyentuh substansi lain di luar itu.
 
Ketiga, suara yang setuju adanya GBHN tapi tidak menginginkan adanya amandemen. Kelompok ini memandang tidak perlu amandemen karena keinginan menghidupkan kembali GBHN bisa diakali dengan perubahan di level UU saja. Terakhir, kelompok yang lebih frontal yakni mereka yang sama sekali tidak merasa perlu adanya gagasan menghidupkan kembali GBHN dan menolak dilakukannya amandemen terhadap UUD NRI 1945.
 
Tentu saja bagi PDIP, membuka lembaran politik baru dengan memulai langkah amandemen bukanlah hal yang mustahil bahkan berpotensi akan berlangsung mulus menggelinding jadi agenda politik nasional. Secara hitungan matematika politis penilain tersebut wajar sebab PDIP kini memimpin Koalisi Indonesia Hebat (KIH), yang menguasai mayoritas DPR, setelah PAN bergabung bahkan kini ditambah Golkar dan kemungkinan besar PKS.
 
Tentu saja kehendak PDIP itu harus direspons dengan sangat hati-hati oleh berbagai pihak terutama DPD RI. Apalagi kehendak itu sudah menjadi agenda partai pemenang Pemilu: amandemen terbatas yang akan sulit diganjal kekuatan politik di luar PDIP. Artinya, sudah tergambar nyata politik kebijakan yang disuarakan PDIP dimulainya kerja konstitusional MPR untuk melakukan amandemen terbatas terhadap UUD NRI 1945, dengan memasukkan kembali pasal tentang wewenang MPR menetapkan GBHN.
 
DPD harus mengedepankan sikap kenegarawan demi kepentingan bangsa dan negara dengan melepaskan kepentingan sektoral termasuk menggadang-gadangkan secara berlebihan seruan PDIP untuk melakukan amandemen karena celah absennya GBHN. Publik hari ini berkesimpulan bahwa ada potensi gagasan PDIP menghidupkan GBHN dan mendorong amandemen akan ditunggangi pihak-pihak tertentu termasuk DPD.
 
Apalagi sudah bukan rahasia lagi bahwa DPD memang adalah lembaga negara yang jauh hari setuju mengubah undang-undang dasar. Lagi pula publik terlanjur menasbihkan bahwa agenda amandemen DPD tersebut membawa misi utama: memperkuat wewenang DPD.Di sinilah titik kritis perjuangan amandemen UUD yang didorong oleh DPD RI mendapatkan ujian berat.
 
DPD RI harus jadi lokomotif yang dapat meyakinkan publik bahwa amandemen UUD 1945 murni untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan politik kekuasaan. Sudah jamak diketahui publik bahwa andai nantinya PDIP dan koalisinya memaksakan amandemen, dicurigai energi bangsa akan terbuang percuma akibat perdebatan, pertarungan, pengkhianatan, dan kongkalikong akan mewarnai amandemen konstitusi. Sebagian mengkhawatirkan jangan-jangan hasil dari amandemen nantinya bukan sekadar menghidupkan kembali GBHN, tetapi juga hilang dan munculnya pasal-pasal baru yang merugikan kepentingan rakyat dan kedaulatannya akibat amandemen yang politik-transaksional.
 
DPD RI harus mampu memupuk sekaligus menumbuhkan optimisme publik bahwa dinamika ketatanegaraan hari ini memang sudah mensyaratkan perlunya amandemen lanjutan. Ketimbang menyuarakan gagasan memperkuat kewenangan DPD yang selama ini cenderung jadi ikon perjuangan amademen, akan lebih baik DPD lebih banyak mengisi ruang wacana publik soal amademen melalui isu-isu lain yang lebih strategis.
 
Misalnya soal kewenangan MK yang perlu dibenahi dalam pasal-pasal UUD serta tindak lanjut putusan MK dalam kaitanya dengan penataan Pemilu Nasional yang menggabungkan antara Pilpres dan Pileg. Sebagai penafsir tunggal konstitusi, MK punya legitimasi untuk ikut mewarnai politik hukum amandemen dan dinamikanya memang ada beberapa poin yang perlu dimasukkan menjadi materi muatan konstitusi.
 
Penguatan sistem Presidensial di tengah berdinamikanya koalisi pemerintahan Jokowi-JK juga perlu mendapat porsi berlebih dalam agenda mendorong perubahan konstitusi.
Di saat yang bersamaan, DPD RI juga harus bekerja keras sekaligus mengikis pesimisme publik akan terjadinya amandemen yang kental aroma politik transaksionalnya.
 
DPD harus berhasil tunjukkan sikap bersabar dan sungguh-sungguh meniti langkah demi langkah amandemen konstitusi. Pesimisme publik bahwa amandemen bukanlah agenda rakyat harus mampu dipatahkan dengan langkah-langkah cerdas dan edukatif sembari memastikan secara konsolodatif di internal DPD bahwa isu amandemen adalah sejatinya agenda rakyat dan untuk kepentingan rakyat. 
 
Untuk itu jembatan komunikasi demi mengikis pesimisme publik ini tidak boleh lagi menunggu kelahirannya. Jembatan itu harus diciptakan sendiri oleh DPD melalui pelbagai cara yang secara simultas mampu menimbulkan simpati dan kepercayaan publik. Semoga Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa meredhoi DPD dalam perjuangan amandemen lanjutan terhadap UUD 1945 demi penataan sistem ketatanegaraan Indonesia ke depan.Wallahu alam bisshowab(Masnur Marzuki, SH, LLM, Staf Ahli BPKK DPD RI) 

Listrik Indonesia

Berita Lainnya

Index