Melihat Eco Camp RER di Semenanjung Kampar (3)

Bangun Tower Pemantau Gas Rumah Kaca, Komitmen Besar APRIL Group Selamatkan Ekosistem Gambut

Bangun Tower Pemantau Gas Rumah Kaca, Komitmen Besar APRIL Group Selamatkan Ekosistem Gambut
Nardi saat menjelaskan tentang cara kerja menara pemantau emisi gas rumah kaca yang dikelola APRIL Group.

Salah satu isu besar yang menjadi pembahasan masyarakat global adalah tentang emisi dan pemanasan global. Jauh di tengah belantara hijau yang masih terjaga, APRIL Group membuat aksi nyata.
-------------------

 

Perjalanan kami ke areal Restorasi Ekosistem Riau (RER) di Semenanjung Kampar, Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan berlangsung selama dua hari. Terasa singkat, namun padat pengetahuan dan literasi tentang upaya-upaya nyata melakukan restorasi alam.

Salah satu spot kunjungan yang kami lakukan adalah Greenhouse Gas (GHG) tower atau menara pemantau gas rumah kaca.

Awalnya, saya mengira kalau tower menjulang tinggi di tengah hamparan hutan alam yang masih sangat terjaga itu adalah menara atau tower milik salah satu provider telekomunikasi.

Tingginya yang menjulang berkisar 48 meter, dan bercat merah dan putih. Di bagian bawahnya terdapat sebuah bangunan berbentuk gudang tertutup serta teras kecil berukuran 2x2 meter.

Disana, kami disambut oleh Tim Ilmuan Manajemen Gambut APRIL Group, Nardi.

Nardi secara detail menjelaskan tentang GHG tower dan upaya-upaya yang dilakukan APRIL Group dalam memantau kondisi lahan gambut dan upaya menekan emisi dari setiap jengkal lahan yang dikelola oleh perusahaan tersebut.

Alumni Universitas Riau yang telah bergabung bersama tim ilmuan gambut APRIL Group ini menjelaskan, bahwa menara tersebut dibangun untuk memantau aktivitas emisi di sekitar aktivitas perusahaan.

Pembangunan tower ini, sebut Nardi, menjadi salah satu bentuk komitmen APRIL Group untuk memastikan peran perusahaan untuk menjaga emisi gas rumah kaca, walaupun perusahaan tersebut concern untuk mempertahankan kawasan hutan.

''Untuk membangun satu menara seperti ini, biayanya bisa sangat besar, diperkirakan berkisar Rp5 miliar, dan APRIL Group memiliki 4 tower,'' jelas dia kepada para jurnalis yang datang.

Nardi berdiri dihadapan salah satu menara GHG yang digunakan APRIL Group untuk memantau emisi gas rumah kaca di sekitar areal usahanya.

Dengan kepemilikan 4 tower yang dinyalakan menggunakan listrik yang dinyalakan oleh solar panel tersebut, Nardi menjelaskan kalau di Tanah Air, APRIL Group menjadi pemiliki tower GHG terbanyak. ''Total di Indonesia, ada 9 GHG dan 4 di antarannya ada di areal kita,'' jelas dia.

Lantas, apa yang dilakukan dengan kepemilikan tower ini?

Nardi menjelaskan, di puncak menara ini, perusahaan memasang sejumlah peralatan yang menjadi instrumen untuk mencatat kadar oksigen (O2), karbon dioksida (CO2), level gas metan dan kadar air, temrasuk data meteorologi seperti suhu dan kelembaban udara.

Alat ini menjadi penting bagi RER dan APRIL Group mengingat aktivitas perusahaan ini berada di eksositem gambut dalam terluas yang ada di Sumatera, bahkan di Asia Tenggara.

Dengan luasan yang dikelola mencapai 150.000 hektare, RER dan APRIL Group berkomitmen untuk senantiasa menjaga kondisi kebasahan ekosistem gambut yang ada untuk mencegah sejumlah musibah alam yang disebabkan terjadinya ketidakseimbangan ekosistem yang bisa memicu terjadinya pelepasan karbon dalam jumlah besar yang bisa menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca.

Di tempat ini juga, kandidat doktor ini juga menjelaskan bahwa RER dan APRIL Group memiliki sarana pendukung yang memadai untuk mengukur besaran emisi yang dihasilkan dari setiap luasan lahan yang dikelola baik dalam bentuk kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), hutan alam maupun lahan terdegradasi.

''Kami ingin mengelola emisi karbon di wilayah kami dalam upaya mencapai pengelolaan hutan yang bertanggung jawab,'' ungkap dia.

Karena itulah, setiap hari, timnya selalu melakukan analisa terhadap data yang didapati dari instrumen pengukuran yang ada di puncak menara.

Tak jarang  juga dia maupun timnya harus memanjat tower menjulang tinggi ini untuk memastikan seluruh instrumen pengukuran bekerja dengan baik. Khususnya bila mana dalam kondisi selepas hujan atau petir.

Seluruh instrumen ini harus dipastikan bekerja dengan baik untuk mamastikan tidak ada data yang luput, karena akan berpengaruh terhadap langkah yang akan dilakukan di lapangan.

Pihaknya juga mempunyai staf yang bertugas menjaga keamanan dari peralatan yang dimiliki. Karena itulah, tidak semua orang bisa melintasi area tower ini.

''Saat hujan petir, biasanya, ada petugas yang mematikan peralatan ini, supaya tidak rusak karena tersambar petir. Karena posisi alat ada di puncak, tentunya riskan kena petir, karena itulah, saat hujan panel listriknya dipadamkan dulu. Karena bila rusak, biaya pembaikannya bisa sangat mahal,''ungkap dia.

Meski tergolong peralatan yang mahal, namun Nardi menjelaskan kalau tower sejenis jumlahnya sudah sangat banyak digunakan di negara-negara maju dalam upaya mengukur kadar misi yang terdapat di udara dalam upaya mencegah terjadinya pemanasan global yang disebabkan aktivitas industri maupun publik.

Di Indonesia sendiri, jelas Nardi, totalnya baru ada 9 tower GHG.

Sayangnya, saat kami tiba di  kaki tower, kondisi udara kurang bersahabat disebabkan hujan lebat dan angin kencang. 

''Tadinya kami ingin mengajak teman-teman jurnalis  untuk melihat instrumen yang digunakan di puncak tower, karena di sana ada beberapa yang berbeda sesuai dengan fungsinya. Namun dikarenakan hujan dan petir, kami tidak merekomendasikan untuk naik,''  jelas dia. 

Lokasi tower yang hendak kami naiki itu persis berada hanya beberapa puluh meter dari kandang harimau Corina sebelum dilepasliarkan ke habitat alaminya setelah menjalani perawatan dan rehabilitasi alam di Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera di Dharmasraya, Sumatera Barat. 

Corina sendiri, dijelaskan Communication Manager RER, Junior Norris Marpaung adalah harimau sumatera betina yang berhasil diselamatkan di wilayah sekitaran Teluk Meranti  setelah masuk dalam jebakan rusa yang dipasang warga. Saat ditemukan, harimau betina malang ini dalam kondisi yang memprihatinkan.

Setelah berhasil disembuhkan, RER  meminta persetujuan dari BBKSDA  untuk melepasliarkan Corina di Semenanjung Kampar dan ternyata disetujui karena dianggap ekosistem gambutnya masih sangat terjaga dan memenuhi aspek untuk matarantai kehidupan spesies harimau sumatera. (Bersambung....)

 

 

Listrik Indonesia

Berita Lainnya

Index