SBMI Bongkar Praktik Perdagangan Manusia dengan Modus Perkawinan Pesanan dengan Pria Kaya Asal China

SBMI Bongkar Praktik Perdagangan Manusia dengan Modus Perkawinan Pesanan dengan Pria Kaya Asal China
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) membongkar praktik perdagangan manusia dengan iming-iming perkawinan dalam konferensi pers di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jakarta Pusat, Minggu (23/6/2019). (Foto: iNews.id/Aditya Pratama).

RIAUSKY.COM - Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) membongkar praktik perdagangan manusia dengan iming-iming perkawinan. Setidaknya 29 perempuan menjadi korban. Mereka berasal dari Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat dan Jawa Barat.

Sekretaris Jenderal SBMI Bobi Anwar Ma’arif mengatakan, temuan itu telah dimulai pada 2016. Praktik ini diduga modus dari Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). 

Temuan ini dikuatkan dengan melihat tiga proses pelanggaran TPPO yakni proses, cara, dan tujuan eksploitasi sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO.

"Dilihat dari pertama, proses. Proses perekrutan dan pemindahan, di mana terdapat keterlibatan para perekrut Iapangan untuk mencari dan memperkenalkan perempuan kepada laki-laki asal Tiongkok (China) untuk dinikahi dan kemudian dibawa ke Tiongkok," ucap Bobi di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jakarta Pusat, Minggu (23/6/2019).

Terkait proses kedua yaitu cara, Bobi menuturkan, cara yang digunakan dengan memperkenalkan calon suami sebagai orang kaya dan membujuk para korban untuk menikah dengan iming-iming akan dijamin seluruh kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Keluarga para korban pun juga diberi sejumlah uang untuk memuluskan langkah tersebut.

Dalam temuan SBMI, setidaknya biaya yang harus dikeluarkan lelaki China untuk memesan pengantin perempuan sebesar Rp400 juta. Dari jumlah nominal tersebut nantinya sebanyak Rp20 juta akan diberikan kepada keluarga pengantin perempuan dan sisanya diberikan kepada para perekrut lapangan atau dalam kasus ini disebut 'Mak Comblang'.

"Dengan memanfaatkan posisi rentan korban yang seluruhnya berasal dari keluarga miskin, tidak memiliki pekerjaan, tulang punggung keluarga, beberapa dia ntaranya merupakan janda dan korban KDRT dari perkawinan sebelumnya, menyebabkan korban dan keluarga menyetujui perkawinan," kata dia.

Selain itu, ditemukan juga terdapat pemalsuan dokumen perkawinan khususnya pada kasus dua korban yang masih berusia anak pada kasus perkawinan pesanan/kontrak.

Untuk proses ketiga yaitu tujuan. Dalam kasus perkawinan pesanan ini pengantin perempuan dieksploitasi. Dari data pelaporan korban yang dihimpun oleh SBMI memperlihatkan bahwa sesampainya di tempat asal suami, mereka diharuskan untuk bekerja di pabrik dengan jam kerja panjang.

Tidak hanya itu, sepulang kerja mereka juga diwajibkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan membuat kerajinan tangan untuk dijual. Seluruh gaji dan hasil penjualan dikuasai oleh suami dan keluarga suami.

Para korban pun dilarang untuk berhubungan dengan keluarga di Indonesia dan bila ingin kembali ke Tanah Air, para korban diancam harus mengganti kerugian yang sudah dikeluarkan oleh keluarga suami.

"Mereka juga kerap dianiaya oleh suami dan keluarga suami dan dipaksa untuk berhubungan seksual oleh suami bahkan ketika sedang sakit. Tidak hanya suami dan keluarga suami yang mengeksploitasi para korban, eksploitasi juga dilakukan oleh sindikat perekrut yang terorganisir dengan mengambil keuntungan ratusan juta rupiah dari perkawinan pesanan ini," ujar Bobi.

Belum ada keterangan dari pihak kepolisian terkait hal ini. Mabes Polri yang dikonformasi terkait keterangan SBMI belum menanggapi. (R04)

Sumber: iNews.id

Listrik Indonesia

Berita Lainnya

Index