Jimly Nilai Politik Pencitraan Jokowi Tak Beda dengan SBY

Jimly Nilai Politik Pencitraan Jokowi Tak Beda dengan SBY
Presiden Joko Widodo dan mantan presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.

JAKARTA (RIAUSKY.COM)- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan, setelah pagelaran Pilpres dilakukan secara langsung, nyaris setiap kebijakan presiden diwarnai pragmatis dan main citra. 

Bahkan, pencitraan melebihi segala-galanya.

Ini disampaikan Jimly dalam Webinar Mengkritisi UU Tanpa Tanda Tangan Presiden, Mengukur Kebijakan Pembentukan UU Dari Sisi Etika dan Moral. 

Webinar ini menyoroti polemik sikap Presiden Joko Widodo yang menolak menandatangani pengesahan Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK hasil revisi.

"Semua tindakan pemerintah itu sangat diwarnai politik pragmatis, politik pencitraan. Sudah dua presiden kita sama saja, pencitraannya luar biasa," kata Jimly, Senin (6/7).

Dia mencatat, sejak tahun 2004, sebanyak delapan Undang-undang tidak ditandatangani presiden. Ada beragam alasan yang menyebabkan Kepala Negara mengurungkan niatnya meneken Undang-undang, mulai dari mempertimbangkan keributan hingga konflik horizontal.

"Jadi seolah-olah ini maunya DPR, padahal ini persoalan pencitraan," ucapnya.

Mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini kemudian menyinggung Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 20 ayat 5 UUD 1945. Pasal 5 ayat 1 berbunyi, Presiden berhak mengajukan RUU. Sementara dalam Pasal 20 ayat 1 menyebutkan, DPR memegang kekuasaan membentuk UU.

"Jadi sekarang ini, menurut konstitusi pascareformasi pemegang kekuasaan membentuk UU DPR bukan lagi Presiden," jelasnya.

Merujuk pada dua pasal tersebut, Jimly mempertanyakan kop surat yang masih menggunakan nama lembaga kepresidenan dalam Undang-Undang saat ini. Seharusnya, kop dalam Undang-undang atas nama DPR, bukan lagi presiden.

"Dulu zaman orba dan sebelumnya, kop surat Undang-undang memang presiden. Sekarang ada perubahan kalimat di judul Undang-undang, Presiden dan DPR. Tapi kop surat masih sama-sama presiden," ujar dia.

Jimly lalu membandingkan kop surat Undang-undang yang diterapkan di Amerika Serikat dan Indonesia. Di Amerika Serikat, kop surat Undang-undang atas nama kongres bukan presiden. Sementara lembaran penandatangan persetujuan untuk presiden akan dibuat terpisah.

"Nah seandainya kita membaca kembali perubahan UUD 1 dan 2 patut dipertimbangkan kop surat Undang-undang ini kita ubah, kop surat DPR RI. Diteken semua pimpinan DPR, nanti kertas pengesahan selembar kertas saja. Jadi disahkan oleh presiden, oleh menteri nanti dikasih nomor dan sebagainya. Jadi lembar pengesahan tersendiri," tutupnya.(R04)

 

Sumber Berita: merdeka.com

Listrik Indonesia

Berita Lainnya

Index