Profesor Hukum UGM Ungkap Sejumlah 'Ugal-ugalan' UU Omnibus Law, ''Kalau Baca, Saya akan Tertawa Kecil-kecil''

Profesor Hukum UGM Ungkap Sejumlah 'Ugal-ugalan' UU Omnibus Law, ''Kalau Baca, Saya akan Tertawa Kecil-kecil''
Zainal Arifin Mochtar.

JAKARTA (RIAUSKY.COM)- Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM), Prof. Zainal Arifin Mochtar mengungkap sejumlah kejanggalan dalam konsep Undang Undang (UU) Omnibus Law. 

Dari naskah yang telah disahkan oleh DPR RI dan kini sudah berada di tangan Presiden Joko Widodo ini juga, dia merasa melihat betul kalau sebenarnya UU ini dibuat terburu-buru.

Dia juga menemukan sejumlah perubahan terhadap naskah tersebut. 

''Kalau tadi disampaikan tidak ada perubahan, sekarang teknologi itu sudah sangat memudahkan kita mencari perubahan dari draft satu ke draft dua. Ada teknologi yang membuat kita bisa menemukan perbedaan dengan mudah. Kita membandingkan versi 905 dengan versi 812 itu banyak banget perubahannya, saya cuma bisa list. ini cuma sebagian yang saya list ya!,'' kata dia. 

Zainal Arifin Mochtar mengungkapkan, Ada 19 pasal yang berubah berkaitan dengan aturan soal PP. Awalnya ditulis 'diatur dengan' diubah menjadi 'diatur dalam'.

Ada pasal yang 156 yang kata paling banyaknya dihapus, ini soal pesangon. Karna dulu  'paling sedikit' diubah menjadi 'paling banyak', setelah diproteskan lalu kata 'paling banyaknya' dihapus. 

Ada pasal 88 yang dulu syaratnya 5 ayat menjadi 8 ayat. 

''Ada 905 perda dicabut oleh presiden, lalu kemudian dihilangkan dikatakan perda yang tidak mendapatkan register, padahal itu beda-beda banget tuh, ungkapnya.

''Jadi ini yang saya mau bilang praktik legislasi yang ugal-ugalan dan menyebalkan,'' kata pria yang biasa disapa Uceng itu dalam acara Indonesia Lawyers Club yang ditaja TvOne, Selasa (20/10/2020) malam lalu.

''Saya sudah tuliskan di salah satu media harian nasional. Saya sampaikan bahwa nggak bisa seperti ini. yang namanya persetujuan, pembahasan dan persetujuan itu final, nggak bisa diubah lagi. Bahkan kalau titik koma pun tidak boleh sebenarnya, karena kita beda dengan Amerika,'' ungkap  dia. 

Dijelaskan dia, sistim presidensil Indonesia, adapun tahap paling dari proses penyusunan UU, yakni  pembahasan dan persetujuan. Setelah persetujuan tidak boleh lagi ada perubahan.

Karena itulah, sebut Zainal Arifin, kalau dikatakan masih ada perbaikan-perbaikan, itu  sesuautu yang keliru. ''Harusnya diselesaikan di awal untuk kemudian disiapkan dikirim ke presiden,'' kata dia.

Dia juga menyinggung tentang Waktu tujuh hari, setelah disahkan. Menurutnya  itu bukanlah substansi, waktu tujuh hari itu format. ''Silakan baca penjelasan pasal 72 UU 12/2011 yang sudah diubah menjadi UU 15/2019. Jadi maksud saya ugal-ugalan dan memang hasilnya memang ugal-ugalan,'' tegas dia lagi.

Setelah membaca, Uceng mengaku banyak sekali hal yang membuatnya juga menjadi tertawa. 

''Kalau kita baca, saya akan tertawa kecil-kecil, maksudnya, pantesan ya apa, dibuatnya itu sangat terburu-buru. Saya ambil contoh misalnya sederhana. Sanksi pidana dengan administrasi itu berantakan dalam UU ini,'' ungkap dia lagi. 

''Ada yang ancamannya administrasi tapi pasal pidananya tidak dihilangin. di bawahnya masih ada tuh, dia bisa diancam pidana dan denda, padahal diatas dikatakan administrasi,'' papar ahli hukum tata negara itu.

''Ada lagi misalnya pidana kumulatif ya di pasal 70, ayat sebelumnya mengatakan kalau tindakan pidana itu menyebabkan orang menderita kerugian apa gitu, itu bisa dipidana penjara dan denda, jadi akumulasi.  Tapi di bawahnya ditulis, ini mati loh, mengakibatkan kematian, itu pidana penjara atau denda. Jadi kalau baca itu kita ngakak-ngakak sendiri, ungkap dia. 

''Kok disini, di atasnya seakan-akan membuat orang rugi diakumulasi pidana  penjara dan denda dua-duanya dikenain, tapi menyebabkan orang mati itu disuruh pilih atau.  Jadi ada banyak sekali, kalau kita baca, kita ketawa-ketawa sendiri. Orang yang paham ilmu hukum pasti akan , belum lagi dampak pidana yang tidak sebanding,'' ujar Zainal Arifin Mochtar.

Dia juga mengungkapkan tidak sinkronnya logika dalam penyusunan UU ini. 

''Dalam perizinan, mengakibatkan mati itu diancam 1 tahun dalam wilayah lingkungan maksud saya. Tapi di perikanan, itu ancamannya 6 tahun.  Ini bukti bahwa apa? Logika itu tidak diperbaiki dengan detail ketika menyusun UU ini. Kan harusnya logis tuh, kalau memang ancamannya berapa tahun untuk mati, ya harusnya relatif dibuat miriplah. Kok bisa lingkungannya 1 tahun, kalau perikanannya 6 tahun. Orang pasti bilang nggak logis loh,'' singgung dia lagi. 

Itu dikatakan dia masih sangat panjang bila hendak dibahas. 

Ini panjang banget nih, kalau saya mau sampaikan betapa isi aturannya tidak logis.

Belum lagi terkait dengan Administrasi pemerintahan, dimana  diskresi kemudian dihapus. 

''Dihilangkan pasal soal tidak boleh melanggar peraturan perundang-undangan. Which is saya setuju sampai disitu. Tapi ketika tidak dikualifikasi peraturan apa yang boleh dilanggar dengan seketika semua boleh dilanggar loh, dengan atas nama diskresi. Semua menteri berarti boleh melanggar aturan diatasnya, kan ndak ada batasan. Dan kalau buka UU 30 tahun 2014, untuk melanggar diskresi sederhana sekali, cukup melapor atasan. pertanyaannya Kalau menteri atasannya siapa, atau kalau presiden atasannya siapa?,'' ungkap dia lagi.

Karena itulah, sebut dia, poinnya adalah UU ini dibuat ugal-ugalan. Substansinya banyak yang tidak sinkron. 

''Walau pun memang ada yang baik barang kali. Terus terang pasti ada yang baik, tapi dibuat secara tidak sinkron, inilah yang harus diselamatkan,'' ujarnya.(R04)

Listrik Indonesia

Berita Lainnya

Index