Soal Pasal 46 UU Cipta Kerja: Badan Kehormatan DPR Diminta Usut Kasus Pasal Migas

Soal Pasal 46 UU Cipta Kerja: Badan Kehormatan DPR Diminta Usut Kasus Pasal Migas
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kedua kanan) menyerahkan berkas pendapat akhir pemerintah kepada Ketua DPR Puan Maharani (kedua kiri) saat pembahasan tingkat II RUU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/1

JAKARTA (RIAUSKY.COM)- Pengamat politik Ray Rangkuti mengatakan sudah semestinya Badan Kehormatan (BK) DPR bertindak melakukan pemeriksaan internal untuk memastikan bahwa tidak ada unsur kesengajaan untuk tetap memasukan pasal 46 tentang migas itu ke dalam UU Cipta Kerja yang diserahkan kepada presiden.

Tanggapan itu disampaaikannya terkait pengakuan Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Supratman Andi Agtas bahwa pasal 46 soal minyak dan gas bumi telah dihapus dari UU Cipta Kerja versi yang telah diserahkan kepada pemerintah.

Menurut Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) itu, persoalan tersebut tidak bisa diangaggap enteng atau sekadar kekeliruan belaka. Menurutnya, justru hal itu menjadi persoalan yang perlu dicari penyebabnya.

"Seluruh peristiwa ini memberi sinyal kuat memang ada proses legislasi yang tidak dilakukan dengan cara yang memadai. Unsur kebut atau cepat berakibat banyak hal yang sejatinya tidak perlu terjadi muncul secara beruntun, katanya kepada wartawan, Ahad (25/10/2020) sebagaimana kami lansir dari bisnis.com.

Dia menilai ada kealfaan sejak dari proses perumusan sampai rapat persetujuan di paripurna yang perlu dipertanyakan. Undang-undang yang diniatkan bagus, tentu saja sudah sepatutnya diproses dengan prinsip tidak hanya sekadar legal, tapi juga harus cermat dan bagus.

"Dua prinsip bagus dan baik inilah nampaknya yang tanggal dari proses pembuatan UU Cipta Kerja ini," katanya.

Sebelumnya, Supratman Andi Agtas mengakui bahwa pasal 46 soal minyak dan gas bumi telah dihapus dari UU Cipta Kerja versi yang telah diserahkan kepada pemerintah.

Dia mengatakan pasal itu telah dinyatakan dihapus sejak awal tetapi tetap masuk dalam UU yang disahkan.

Karena alasan tersebut Ray mempertanyakan mengapa pasal yang sudah dinyatakan dihapus tapi masih bisa masuk di dalam naskah UU yang bahkan disampaikan kepada presiden.

“Bukankah semestinya telah dilakukan penyisiran bahkan jauh sebelum UU ini ditetapkan di rapat paripurna?," ujar Ray mempertanyakan.

Setidaknya, kata dia, terdapat tiga kali momentum untuk menyisir dan merapihkan naskah UU yang dimaksud. Pertama adalah saat sinkronisasi naskah RUU paska pembahasan di rapat tingkat 1 dan 2.

Kedua adalah saat ada pandangan mini fraksi dan terakhir masih ada kesempatan Saat paripurna berlangsung.

"Jadi dalam tiga fase itu, sejatinya pasal yang disepakati untuk dihapus dengan sendirinya sudah bisa dihapus," terangnya.

Maka penjelasan ketua Baleg bahwa pasal itu lupa untuk dihapus adalah pokok soalnya. Tentu harus ada pemeriksaan lanjutan. Tidak cukup dengan pernyataan bahwa pasal itu lupa dihapus.

"Kita juga pernah mengalami keadaan yang hampir sama. Terkait ayat tembakau yang ditemukan salah satu ayatnya hilang," katanya.

Sekalipun ayat yang hilang telah dikembalikan sambung Ray, tapi DPR tetap melakukan pemeriksaan internal. Apakah benar ayat itu hilang secara tidak sengaja atau sebaliknya sengaja.(R04)

Sumber Berita: bisnis.com

Listrik Indonesia

Berita Lainnya

Index