Nadiem: Orang Tua Punya Komorbid, Anak Jangan ke Sekolah

Nadiem: Orang Tua Punya Komorbid, Anak Jangan ke Sekolah
Mendikbud Nadiem Makarim saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (10/3/2021). (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN)

JAKARTA (RIAUSKY.COM)- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengatakan siswa dengan orang tua yang memiliki penyakit penyerta atau komorbid sebaiknya tidak melakukan pembelajaran tatap muka di sekolah.

"Makanya kita berikan hak orang tua tidak mengirim anaknya [sekolah] tatap muka. Karena kalau orang tuanya punya komorbiditas yang tinggi, sebaiknya anaknya jangan sekolah dulu," tuturnya dalam acara yang disiarkan langsung di Youtube FMB9ID_IKP, Kamis (1/4).

Namun begitu, Nadiem menegaskan semua sekolah tetap diwajibkan menyediakan opsi belajar tatap muka. Jika orang tua siswa yang lain mengizinkan anaknya datang ke sekolah, pembelajaran tatap muka bisa dilakukan.

"Sekolahnya harus memberikan opsi tersebut bagi anak-anak yang sudah tidak kuat dan ingin kembali ke sekolah karena pembelajaran sangat tersendat," tambah dia.

Pernyataan Nadiem itu diungkapkan menjawab saran yang disampaikan Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf. Ia mengaku mendapat laporan dari sekolah bahwa kekhawatiran dalam pembelajaran tatap muka bukan penyebaran virus di kalangan siswa, namun pada keluarga siswa.

"Permasalahan utama terbesar datang bukan dari siswa, tapi dari keluarga atau orang tua di rumah yang punya penyakit komorbid," kata dia.

Laporan itu ia dapat ketika tengah melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Mendengar hal tersebut, Dede meminta sekolah mendata siswa dengan orang tua yang memiliki penyakit komorbid dan mengizinkan siswa tidak ke sekolah.

Lebih lanjut, ia juga mendapati beberapa kendala pada penerapan pembelajaran di sekolah di Kabupaten Bogor. Ia menyebut dari 250 sekolah yang disiapkan untuk belajar tatap muka, yang memenuhi syarat hanya 170 sekolah.

"Tidak semua serta merta bisa tatap muka, karena harus melalui daftar periksa atau checklist yang ditetapkan Kemendikbud," ucap Dede.

Sementara pembukaan sekolah wacananya hanya dilakukan selama dua jam. Kebijakan ini, kata Dede, diprotes sejumlah guru SMK yang merasa waktu tersebut tidak cukup karena pembelajaran di SMK umumnya berupa praktek.

Belum lagi soal transportasi. Dede mengatakan tidak semua siswa diantar jemput ke sekolah. Sedangkan, moda transportasi yang digunakan siswa belum memenuhi protokol kesehatan yang ketat.

"Terutama angkot. Karena itu kami minta pemerintah daerah harus mewajibkan kendaraan umum menyiapkan protokol kesehatan," tambahnya.

Sebelumnya, pemerintah melalui SKB 4 Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19 mewajibkan sekolah mulai melakukan pembelajaran tatap muka.

Kebijakan ini menuai kritik karena persiapan protokol kesehatan yang dinilai belum maksimal.

Kemendikbud sendiri menetapkan 11 daftar periksa yang perlu dipenuhi sekolah sebelum dibuka. Tapi baru 52,74 persen sekolah yang mengisi daftar periksa itu.

Sekolah yang mengisi pun belum semuanya memiliki fasilitas atau memenuhi ketentuan pada daftar periksa.

Contohnya, 11.230 sekolah mengaku tidak punya sarana cuci tangan, 39.852 sekolah belum punya desinfektan, 86.286 sekolah mengatakan tidak bisa menerapkan area wajib masker, dan 65.244 sekolah belum punya pengukur suhu tubuh. (R03)
Sumber Berita :cnnindonesia.com

Listrik Indonesia

Berita Lainnya

Index