Catatan Akhir Tahun 2017 YLBHI–LBH Pekanbaru; Tahun Buruk Penegakan Hukum di Riau

Kamis, 28 Desember 2017 | 19:08:37 WIB

LBH Pekanbaru merupakan salah satu dari 15 Kantor LBH yang tersebar di seluruh Indonesia dan berada dibawah naungan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). 

Berdiri pada tahun 2005, LBH Pekanbaru sudah beberapa kali mengalami perubahan sturktur kepengurusan. Saat ini LBH Pekanbaru dipimpin oleh Aditia Bagus Santoso dengan masa kepengurusan 2017-2020 yang dilantik pada 20 Maret 2017. 

Dalam menjalankan Advokasi, penegakkan Hukum dan pembelaan Hak Asasi Manusia, LBH Pekanbaru mempunyai Visi “Terwujudnya Sistem Hukum yang Adil dan Demokratis”.

Pada Tahun 2017, ada 102 Pengaduan penerimaan pengaduan dari Masyarakat Pencari Keadilan yang datang ke LBH Pekanbaru, jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya ada 73 pengaduan. 

Adapun Jasa Bantuan Hukum yang diberikan adalah Konsultasi Hukum, Pendampingan Litigasi dan Pendampingan Non-Litigasi. Dari 102 terdapat 92 kasus Non-Struktural dan 10 Kasus Struktural seperti Perburuhan, Lingkungan, Masyarakat Miskin Kota, Pelanggaran Hak Sosial dan Politik seperti Fair Trail, serta Perempuan dan Anak.

Hitam Putih Perjuangan di Atas Lubang Tambang PT. Riau Bara Harum (RBH) merupakan salah satu Perusahaan Tambang yang beroperasi di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Masuk dalam kelompok Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), PT. RBH memiliki konsesi Pertambangan seluas 24.450 Ha dan mempunyai Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dari Mentri Kehutanan dengan No S.527/Menhut-VII/2005 tentang Persetujuan Izin Penggunaan Hutan untuk Eksploitasi Batu Bara dan Pembangunan Sarana Penunjang, izin tersebut berlaku dari tahun 2005 dan berakhir pada tahun 2010.

Meskipun izin pinjam pakai telah lewat waktu dan permohonan perpanjangan belum dapat dilakukan karena ada syarat yang belum dipenuhi PT RBH, perusahaan tambang tersebut tetap melakukan kegiatan eksploitasi hingga Oktober 2014 dan setelahnya PT. RBH menghentikan kegiatannya, dan bisa dikatakan bahwa Kantor PT RBH sudah kosong, akan tetapi PT RBH masih meninggalkan 12 lubang tambang yang tidak direklamasi.

Bersama masyarakat Indragiri Hulu, LBH Pekanbaru melaporkan Kejahatan Lingkungan yang dilakukan oleh PT RBH ke Polda Riau dan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI pada Tahun 2016. LBH Pekanbaru juga mengajukan Gugatan Citizen Law Suite (CLS) dengan para tergugat Mentri ESDM RI, Mentri LHK RI, Gubernur Riau dan Bupati Indragiri Hulu yang didaftarkan di Pengadilan Negeri Rengat pada tahun 2017. 

Sebelum didaftarkan, LBH Pekanbaru yang mendampingi masyarakat telah melayangkan notifikasi kepada para Tergugat, akan tetapi tidak ada balasan notifikasi tersebut.

Kementrian akhirnya mengeluarkan Surat Keputusan Kementrian ESDM No 8079 K/40/MEM/2016 tentang Pengakhiran Perjanjian Kerjasama Pemerintah dengan PT RBH tertanggal 29 Desember 2016. Sementara itu gugatan CLS masih tetap berjalan hingga pada akhirnya putusan/Vonis Hakim Pengadilan Negeri Rengat yang dibacakan pada tanggal 6 Desember 2017 menyatakan bahwa Gugatan CLS tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaad).

Hakim tidak melihat Fakta bahwa dampak Tambang dan lubang yang tidak direklamasi sangat membahyakan Masyarakat yang tinggal di sekitarnya, selain itu juga Laporan Kejahatan Lingkungan yang telah dilaporkan ke Polda Riau dan KLHK RI tidak mendapat perhatian yang berarti, hingga kini belum ada kejelasan Tindak Pidana yang dilakukan oleh PT RBH.

Pengadilan Bukan Tempat Mencari Keadilan Ekologis Lagi (Lagi)
LBH Pekanbaru mencatat sejumlah konflik yang berkaitan dengan Agraria, data yang di himpun antara lain dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau, terdapat 188 laporan konflik tenurial sepanjang tahun 2017. 

Sementara itu, terkait dengan Konflik Agraria, selain PT RBH, LBH Pekanbaru juga mendampingi masyarakat di beberapa daerah. Diantaranya, Mendampingi Anggota Koperasi di Kabupaten Siak dengan Luasan Lahan Sekitar 1.200 Ha. Mendampingi Masyarakat terkait Perambahan Hutan Lindung Bukit Betabuh dan kepemilikan Perkebunan Kelapa Sawit tanpa Izin di Indragiri Hulu dengan Luasan Sekitar 4.000 Ha.

LBH Pekanbaru juga turut andil dalam usaha membuka kembali perkara 15 Korporasi yang kasusnya di Hentikan (SP3) oleh Polda Riau yang di ajukan oleh Walhi Riau, 2 kali Walhi Riau Mengajukan Permohonan Pra-Pradilan SP3 di Pengadilan Negeri Pekanbaru akhirnya ditolak oleh Majels Hakim.

Anak Riau Belum Aman dari Kejahatan Seksual 
Catatan Data LBH Pekanbaru yang di himpun dari beberapa Instansi dan LSM, diantaranya Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Kepolisian Resort Kota Pekanbaru dan Lembaga Swadaya Masyarakat Rumpun Perempuan dan Anak Riau (LSM –RUPARI).

Ada total 278 Perkara Anak di Provinsi Riau, dari jumlah tersebut terdapat 116 Kasus Kejahatan Seksual terhadap Anak dan ada 25 Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) berstatus tersangka atau pelaku. Catatan terburuk adalah tidak adanya Pendamping atau Penasihat Hukum bagi Anak yang menjadi tersangka. 

Hal ini menjadi preseden buruk bagi Penegakan Hukum dan merupakan Pelanggaran Hak Asasi Manusia bagi Si Anak dan juga melanggar UU Sistem Peradilan Pidana Anak, UU Perlindungan Anak, dan UU HAM yang menyatakan bahwa Anak yang berhadapan dengan hukum dan berstatus tersangka wajib didampingi oleh Penasihat Hukum.

Buruh Lemah, Perusahaan Mengejar Keuntungan dan Pemerintah Abai 
Isu perburuhan di Provinsi Riau juga harus menjadi perhatian khusus pemerintah. Pengaduan yang diterima LBH Pekanbaru ada sebanyak 9 Pengaduan dengan jumlah Penerima Manfaat yang cukup banyak. Pada tahun ini, LBH Pekanbaru menerima 1 Pengaduan yang mewakili 318 Mantan Buruh Joint Operating Rekind Worley Parsons (JO RWP) yang merupakan Sub Kontraktor Chevron Pasifik Indonesia.

Para Buruh di PHK tanpa diberikan Hak-hak yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, selain status mereka merupakan buruh kontrak, akan tetapi selalu ada perpanjangan kontrak setiap tahunnya, yang menurut UU sudah seharusnya Buruh tersebut berstatus Karyawan Tetap. 

Masih banyak pelanggaran yang di lakukan oleh Perusahaan terhadap para Buruh, akan tetapi terdapat beberapa tekanan ataupun ancaman kriminalisasi serta ancaman PHK yang dilakukan oleh Perusahaan membuat para Buruh ketakutan dan tak berdaya untuk memperjuangkan haknya.

Korupsi Berjamaah = Riau Darurat Korupsi
Riau merupakan Tuan Rumah dalam memperingati Hari Anti Korupsi Internasional (HAKI) pada tahun 2016 lalu, untuk melambangkan semangat Anti Korupsi di Provinsi Riau, maka dibangunlah Tugu Intregitas. Hal ini juga menjadi Komitmen dalam pemberantasan Korupsi di Provinsi Riau karena 3 Gubernur Riau berakhir di tangan Komisi Pemberantasan Korupsi dan tinggal di Balik Jeruji besi.

Ironis, Setahun berdiri Tugu Intregitas yang berada di Taman Tunjuk Ajar yang didirikan atas dasar semangat Anti Korupsi malah di Korupsi. Kejaksaan menetapkan 18 orang sebagai tersangka Korupsi pembangunan Taman Tunjuk Ajar Intregitas tersebut.

Jalan Panjang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Talang Mamak atas Sumber Daya Alam
“Lebih baik mati anak daripada mati adat”. Pepatah kuno Masyarakat Hukum Adat Talang Mamak ini menggambarkan kondisi MHA Talang Mamak yang terus berjuang untuk mempertahankan tradisi leluhur agar tak lekang melawan perubahan zaman.Menurut para Antropolog, MHA Talang Mamak tergolong sebagai proto-melayu atau Melayu Tua. 

Golongan ini diartikan sebagai komunitas yang mempunyai kebudayaan tertua di peradaban Pulau Sumatera atau Melayu. Orang Talang Mamak sebagai satu kesatuan baik yang diikat dengan sejarah atau pun struktur adat terdiri atas 29 suku sebagai komunitas adat.

MHA Talang Mamak sebagian besar hidup dan berkembang di Indragiri Hulu Provinsi Riau dan sebagian kecil berada di Provinsi Jambi. Sebagai masyarakat suku asli indragiri dan suku pertama dan berhak atas sumber daya di Indragiri, tidak lantas membuat MHA Talang Mamak dapat mengelola lahan dan hutan yang berada di wilayah mereka. 

MHA Talang Mamak yang berlokasi dan berdomisili yang tersebar di kecamatan Batang Gangsal, Cenaku, Kelayang dan Siberida harus menghadap kenyataan pahit, lahan dan hutan mereka bukan lagi milik mereka. Tidak adanya pengakuan atas hak ulayat mereka menyebabkan MHA Talang Mamak tidak bisa bertindak.

Berangkat dari konflik tersebut, YLBHI – LBH Pekanbaru bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kabupaten Indragiri Hulu serta MHA Talang Mamak mencoba melakukan advokasi agar diakui dan dihormati hak-haknya. LBH Pekanbaru menyusun sebuah Kebijakan Ringkas (Policy Brief) yang pada intinya adalah merekomendasikan kepada Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu untuk dapat meregulasikan pengakuan MHA Talang Mamak dalam sebuah Peraturan Daerah.

LBH Pekanbaru bersama AMAN Indragiri Hulu serta MHA Talang Mamak telah menyerahkan Policy Brief kepada Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu dalam hal ini diwakili oleh Kepala Bagian Pertanahan Kabupaten Indragiri Hulu, Raja Fahrurazi. Melalui Kabag Pertanahan tersebut, Pemkab Indragiri Hulu mendukung pengakuan MHA Talang Mamak. Meskipun telah mendapat dukungan tersebut, LBH Pekanbaru tidak berhenti sampai disitu.

LBH Pekanbaru menyusun Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang Pengakuan Masyarakat Adat Talang Mamak, meskipun Provinsi Riau telah memiliki Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 10 Tahun 2015 tentang Tanah Ulayat, akan tetapi Perda tersebut masih belum mampu untuk menjawab permasalahan Masyarakat Adat yang ada di Provinsi Riau, khususnya di Indragiri Hulu. LBH Pekanbaru akan selalu mendampingi MHA Talang Mamak sampai adanya pengakuan dari Pemerintah tersebut. (*)

Terkini