Serapan Emisi Gas Rumah Kaca Ditarget Seimbang 2030, Sektor Hutan Butuh Investasi Rp 219,66 Triliun

Serapan Emisi Gas Rumah Kaca Ditarget Seimbang 2030, Sektor Hutan Butuh Investasi Rp 219,66 Triliun
Ahli gambut PT RAPP - APRIL Group memaparkan program restorasi ekosistem gambut dalam upaya menekan emosi dari lahan gambut di areal Semenanjung Kampar./ Sumber Foto: riausky.com

JAKARTA (RIAUSKY.COM)- Pemerintah menargetkan, serapan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya pada 2030 akan seimbang atau bahkan lebih tinggi dari tingkat emisi yang dihasilkan.

Target tersebut tertuang dalam dokumen Indonesia’s Forest and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030. Akan tetapi, untuk mencapai serapan emisi GRK yang seimbang dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya, dibutuhkan biaya yang besar.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo mengungkapkan, dana yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut mencapai 14 miliar dollar AS atau sekitar Rp 219,66 triliun.

Dari angka tersebut, 55 persen di antaranya diharapkan datang dari investasi sektor swasta, sebagaimana dilansir dari siaran pers Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 
“Jadi untuk mencapai FOLU Net Sink 2030, kita harus melaksanakan aksi mitigasi maupun investasi, baik pemerintah maupun sektor swasta. Untuk itulah dibuat regulasi yang harus diikuti,” kata Indroyono di Jakarta, Kamis (9/11/2023).

Indroyono mengatakan, saat ini ada sekitar 600 unit perusahaan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH).

Sebagian di antaranya mulai masuk ke perdagangan karbon.

Untuk masuk ke dalam perdagangan karbon, para pemegang PBPH perlu mengikuti aturan main seperti menyusun Dokumen Rancangan Aksi Mitigasi Perubahan Iklim DRAM dan mengurus berbagai prosesnya di Sistem Registri Nasional (SRN).

Setelah semua langkah ditempuh, baru diterbitkan Sertifikasi Penurunan Emisi Indonesia (SPE) GRK yang bisa menjadi pegangan pemegang PBPH untuk melakukan perdagangan karbon.

“Oleh karna itu, memang harus hati-hati dan harus bermitra bersama-sama. Regulasinya dibuat pemerintah, investasi dilaksanakan pemerintah maupun swasta,” ucap Indroyono.

Semenara itu, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK Laksmi Dhewanthi menyampaikan, SRN merupakan sistem registri yang mencatatkan berbagai aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang dilakukan seluruh pemangku kepentingan di Indonesia.

Selain menjadi pencatatan, SRN juga difungsikan sebagai karbon registri yang nanti mampu melakukan penelusuran pada saat diterbitkan SPE GRK.

Dia menggarisbawahi bahwa SRN bukan semata-mata untuk melakukan perdagangan karbon.

“Tetapi untuk melakukan perdagangan karbon di Indonesia, atau seluruh mekanisme nilai ekonomi karbon termasuk result based payment, perdagangan emisi dan offset emisi harus melalui SRN," tuturnya.

Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) KLHK Agus Justianto mengatakan, proses tersebut memang membutuhkan waktu.

Dia menuturkan, berbagai instrumen sudah tersedia, termasuk metodologi di SRN, walaupun masih dimungkinkan untuk mengusulkan metodologi yang diperlukan untuk dapat digunakan oleh SRN. Agus menambahkan, sektor kehutanan diharapkan mempunyai kontribusi yang paling besar dalam mengurangi emisi GRK yaitu hampir 60 persen.

“Maka PBPH sudah mulai mempersiapkan diri bahkan mungkin paling siap untuk melaksanakan perdagangan karbon, khususnya dari segi legalitas, kinerja, rencana kerja usaha, SDM (sumber daya manusia), luas wilayah aksi mitigasi, pendanaan dan lain lain,” ujar Agus.(R02)

Sumber Berita: kompas.com

 

Listrik Indonesia

Berita Lainnya

Index