Jokowi Tak Konsisten, Subsidi Konglomerat Sawit Rp7,5 Triliun, Petani Rakyat Disuruh Beralih Tanam Petai dan Jengkol

Jokowi Tak Konsisten, Subsidi Konglomerat Sawit Rp7,5 Triliun, Petani Rakyat Disuruh Beralih Tanam Petai dan Jengkol
Joko Widodo menyiram pohon sawit yang ditanamnya di Rokan Hilir saat peremajaan perkebunan sawit.

JAKARTA (RIAUSKY.COM)- Anjuran Presiden Joko Widodo kepada petani agar beralih dari  menanam sawit ke jengkol, petai dan kopi dianggap bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah mensubsidi perusahaan kelapa sawit nasional.

Buktinya, lima perusahaan sawit berskala besar mendapatkan subsidi pemerintah dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Total bantuan mencapai Rp 7,5 triliun sepanjang Januari-September 2017 lalu.

Lima perusahaan sawit itu adalah: Wilmar Group, Darmex Agro Group, Musim Mas, First Resources dan Louis Dreyfus Company (LDC). Wilmar Group mendapatkan nilai subsidi terbesar, yakni Rp 4,16 triliun.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang diteken oleh Presiden Jokowi itu, diatur tentang penggunaan dana tersebut. 

Pada Pasal 11 ayat (1) dinyatakan bahwa dana yang dihimpun adalah untuk pengembangan sumber daya manusia; penelitian dan pengembangan perkebunan sawit; promosi perkebunan kelapa sawit; peremajaan tanaman perkebunan; serta prasarana perkebunan sawit.

Sedangkan pada ayat (2) dijelaskan bahwa penggunaan dana itu juga dipakai untuk kebutuhan pangan, hilirisasi industri dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel. Ayat selanjutnya menyatakan BPDPKS dapat menentukan prioritas penggunaan dana berdasarkan program pemerintah dan kebijakan Komite Pengarah.

Terkait hal tersebut, kajian soal sawit milik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2016 menemukan bahwa penggunaan dana yang berlebihan bagi perusahaan biodiesel bisa menimbulkan ketimpangan dalam pengembangan usaha perkebunan sawit. 

Nilai subsidi untuk perusahaan sawit lainnya adalah Darmex Agro Group (Rp915 miliar) dengan setoran Rp27,58 miliar; Musim Mas (Rp1,54 triliun) dengan setoran Rp1,11 triliun; First Resources (Rp479 miliar) dengan setoran Rp86,95 miliar; dan LDC (Rp410 miliar) sebesar Rp100,30 miliar.

Dengan demikian terdapat selisih nilai yang relatif besar untuk para konglomerat sawit tersebut. Ini terdiri dari Rp2,84 triliun (Wilmar Group); Darmex (Rp887,64 miliar); Musim Mas (Rp421,56 miliar); First Resources (Rp392,61 miliar) dan LDC (Rp309,83 miliar).

BPDPKS pada 2015 menyatakan penggunaan dana terbesar masih dialokasikan untuk biodiesel, yakni mencapai 89 persen. Sedangkan untuk peremajaan sawit, pengembangan SDM hingga perencanaan-pengelolaan masing-masing hanya satu persen.

BPDPKS sendiri dibentuk dalam wujud Badan Layanan Umum sejak 11 Juni 2015 di bawah kendali Kementerian Keuangan. Badan tersebut didirikan untuk mendukung program pengembangan kelapa sawit berkelanjutan.

Namun, ironisnya, pasca kebijakan yang banyak menguras kantong negara itu, Presiden Jokowi dalam kunjungan kerjanya ke Jambi, meminta kepada petani agar mengerem memproduksi sawit. 

Jokowi beralasan karena harga sawit nasional tidak mampu bersaing di pasar global.

Tidak sampai di situ, Kepala Negara menganjurkan petani menanam komoditi di luar sawit yaitu tanaman pangan dan tanaman hortikutura seperti jagung, kedelai, durian, manggis, jengkol dan petai.

Terkait sikap tidak konsisten itu, Sosiolog dari Universitas Indonesia, Thamrin Amal Tomagola mempertanyakan konsistensi Jokowi tersebut. Satu sisi dia mensubsidi konglomerat sawit, di sisi lain meminta petani mengerem menanam sawit.

"Konsistensi ucapan dan tindakan?" kata Thamrin Tomagolaseperti dilansir dari akun Twitter miliknya, Rabu (19/12/2018).

Kalau sudah seperti ini, dia menilai pemerintahan Jokowi lebih pro kepada pengusaha besar ketimbang para petani.

"Enakan jadi taipan sawit ketimbang petani jengkol. Kok Pak @jokowi malah anjurin petani tanam jengkol?" ujar Thamrin Tomagola.(R04/rmol/cnnindonesia)

Listrik Indonesia

Berita Lainnya

Index