Ini Komentar Terbaru Menteri LHK Soal Karhutla di Riau

Ini Komentar Terbaru Menteri LHK Soal Karhutla di Riau
Men-LHK Siti Nurbaya

 

JAKARTA (RIAUSKY.COM) - Persoalan alih fungsi lahan gambut menjadi lahan sawit, menjadi salah satu penyebab utama kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Provinsi Riau semakin parah.
 
Tidak ingin kasus serupa terus berulang setiap tahunnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya merangkul berbagai elemen masyarakat untuk mengatasinya.
 
Bertempat di ruang kerjanya di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Jumat (22/1) digelar diskusi terbatas. Dalam diskusi ini Menteri Siti mengundang aktivis Eyes on Forest dari Riau dan WWF.
 
"Saya ingin mengumpulkan bahan, khususnya tentang hubungan ekspansi sawit, kebakaran hutan dan lahan. Ini khusus untuk kasus Riau," tegas Siti dilansir dari website pribadinya.
 
Ditambahkannya, diskusi ini sebagai salah satu contoh kecil dari keseriusan KemenLHK menangani masalah Karhutla dan alih fungsi lahan di Provinsi kaya minyak itu. ''Saya sedang serius berupaya mendalami masalah dan laporan-laporan tentang sawit yang mendetail. Tujuannya untuk bisa memperoleh gambaran persoalan dan rancangan kebijakan. Seperti masalah produksi, IPOP, tata ruang, penegakan hukum dan lain-lain," jelasnya seperti dimuat jawapos.
 
Sambil terus mengumpulkan bahan untuk ditindaklanjuti dalam bentuk kebijakan yang pas, Menteri Siti menegaskan bahwa proses penegakan hukum tetap terus berjalan sesuai aturan. "Semoga semua upaya ini dimudahkan oleh Yang Maha Kuasa," harap Menteri Siti.
 
Sebelumnya, Greenomics Indonesia mengkritisi kemitraan perubahan iklim antara Indonesia-Norwegia, yang ditandatangani pada Mei 2010. Vanda Mutia Dewi, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia menuturkan areal moratorium gambut merupakan salah satu produk dari kemitraan perubahan iklim antara Norwegia-Indonesia. Namun pada kenytaannya,  areal moratorium tersebut justru didominasi oleh hamparan perkebunan sawit.
 
Berdasarkan penelusuran Greenomics, hampir 1,3 juta hektar areal moratorium gambut yang tersebar di Provinsi Riau, mayoritasnya merupakan hamparan perkebunan sawit.
 
Fakta tersebut diungkap dalam laporan Greenomics berjudul “The Climate Scandal? Indonesia’s peatland moratorium areas dominated by a significant expanse of palm oil plantation".
 
Menurutnya, kemitraan Norwegia-Indonesia pada pertengahan Mei 2010 bertujuan untuk memberikan kontribusi dalam menurunkan emisi secara signifikan, di antaranya, dengan menghindari terjadinya pembukaan lahan gambut.
 
Vanda menyayangkan, areal moratorium gambut yang disepakati kedua negara saat ini justru mayoritas merupakan hamparan perkebunan sawit. "Itu tidak hanya terjadi di Provinsi Riau, namun juga tersebar di provinsi-provinsi lain di Pulau Sumatera dan Kalimantan," ujar Vanda melalui keterangan tertulisnya.
 
Dia menilai salah kelola areal moratorium gambut saat ini merupakan warisan dari pemerintahan sebelumnya kepada pemerintahan sekarang. "Pihak-pihak yang terkait dengan implementasi kemitraan Norwegia-Indonesia tersebut tentu harus menjelaskan ke publik, mengapa mayoritas areal moratorium gambut ternyata isinya adalah perkebunan sawit," jelas Vanda.
 
Laporan Greenomics tersebut juga mengaitkan keterlibatan rantai pasokan minyak sawit dari grup bisnis besar yang tergabung sebagai penandatangan Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP). Antara lain yang disebut Greenomics adalah Wilmar, Musim Mas, Golde Agri Resources, Cargill, dan Asian Agri.
 
"Sebagai penandatangan IPOP, tentu saja rantai pasokan minyak sawit dari grup-grup bisnis besar itu harus bebas dari areal moratorium gambut, baik yang tersebar di Sumatera maupun Kalimantan. Mereka harus mengambil sikap dan keputusan cepat," tegas Vanda. (R02)

Listrik Indonesia

Berita Lainnya

Index