Fahri Hamzah: Sepandai-pandainya Pak Jokowi Buat Drama, Tapi Mungkin yang Ini Bukan Drama

Fahri Hamzah:  Sepandai-pandainya  Pak Jokowi Buat Drama, Tapi Mungkin yang Ini Bukan Drama
Fahri Hamzah saat diskusi ILC malam tadi.

JAKARTA (RIAUSKY.COM)- Mantan Wakil Ketua DPR RI yang juga Politisi Partai Gelora, Fahri Hamzah mengkritik langkah presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas bersama menteri dan pimpinan lembaga.

Fahri mengungkapkan, Presiden adalah lembaga yang kuat dalam sistem presidensial seperti Indonesia. Presiden tidak perlu rapat, cukup memberikan perintah dalam memutuskan sebuah kebijakan, termasuk dalam penanganan pandemi Covid-19.

Hal tersebut diungkapkannya saat menjadi salah seorang narasumber pada diskusi Indonesia Lawyers Club (ILC) di TV One Selasa (30/6/2020) malam tadi dengan tema ''Presiden Marah: Menteri Mana Direshuffle? ''

Dalam penjelasannya, Fahri mengurai satu persatu pernyataan utama dari Presiden Joko Widodo. 

''Presiden mengatakan kita harus punya sense of crisis, saya ingin mengatakan harusnya presiden mengatakan ini 3 atau 4 bulan yang lalu. Ketika orang-orang di luar sudah ribut, kita masih protektif, seolah-olah kita lebih dari negara-negara yang lain. Presiden meminta kita punya perasaan yang sama, kalau saya melihat seperti presiden mengiba.  Presiden mengatakan banyak yang punya perasaan. Waduh, ini kan luar biasa itu. Jadi dia mungkin menuduh menteri-menterinya,'' kata Fahri. 

''Kata-kata nggak punya perasaan itu, kalau di sinetron-sinetron mungkin agak ringan  kita memahaminya. Tapi ini kan di depan lembaga-lembaga negara, tuduhan tidak punya perasaan pada pimpinan lembaga negara itu kan serius sebenarnya,'' imbuh dia.

Kemudian, lanjut Fahri, Jokowi juga mengatakan ''apa harus melihat rakyat mati dulu baru cair? mati dulu? Sepandai-pandai pak jokowi buat drama, tapi mungkin yang ini bukan drama'' 

''Sejujurnya saya katakan tidak ada progres. Sedrama-dramanya kan tak boleh presiden ngawur dalam kata-kata. Sebab dia didengar oleh rakyat dan dipertimbangkan oleh yang beliau ulang-ulang 267 juta rakyat Indonesia,'' lanjut dia. 

Fahri juga melanjutkan, kalau Presiden juga menutup dengan mengatakan bisa mengambil semua opsi, apakah perpu, kalau diperlukan, dikeluarkan segera. ''Padahal perpu itu kan suatu kedaruratan. Pintu kedaruratan. Karena kuasa membuat UU dalam konstitusi kita adanya di DPRD, Tapi presiden mengatakan akan mengambil itu. Ada yang minta perpu lagi, saya kasi. Ada yang perlu dibubarkan saya bubarkan, membuka opsi reshuffle. Presiden mengatakan saya terbuka,'' ungkapnya.

Fahri mengatakan kalau dia  merasa presiden merasa ada kedaruratan. Tapi, saya kok melihat, --ini cara membaca lembaga negara-- sering negara berkelahi dengan dirinya sendiri tanpa kita tahu apa yang terjadi di antara mereka. 

Hari ini kita membaca anggota dan pimpinan  Komisi IX mengkritik presiden karena salah membaca Menteri Kesehatan. Mereka mengatakan angka presiden itu salah. 

''Lah terus masalahnya angka yang datang dari presiden itu datang dari siapa? Menteri kesehatan kan ada disitu, sebagai sumber data,'' sebut dia.  

Dilanjutkan Fahri, ''Tapi kemudian dikritik, karena sebenarnya yang masuk DIPA Kementerian Kesehatan katanya 1,9 triliun, sementara presiden mengatakan, yang 1 koma sekian persen itu dari sumber yang 60-an triliun, atau 80 an triliun. Kalau 1,9 triliun, angka yang dimaksud 1,56 persen itu berarti sudah diatas 50 persen. Pertanyaannya, ini sebenarnya datanya  dari siapa? Kekacauan dalam bernegara itu, karena negara organisasi yang besar, kadang sulit menilai kinerja negara. Kadang kadang gagal pun disebutnya sukses. Atau kadang-kadang mungkin sukses tapi sulit menjelaskan pada masyarakat kalau ini sukses sehingga akhirnya nampak gagal.Negara itu besar sekali, agak kesulitan kita menilainya,'' singkat dia.

Masih pada kesempatan yang sama, Fahri juga menegaskan bahwa Presiden Jokowimempunyai kekuatan untuk langsung memerintah.

''Dalam presidensialisme itu, posisi presiden itu kuat. ini bukan parlementarisme. Presiden dipilih memimpin presidensialisme itu dengan kekuatan penuh. Presiden itu tak perlu rapat, yang perlu rapat itu DPR, karena beda partai, beda dapil dan beda manusia yang memilih, 575 orang itu mereka datang berdebat  untuk mencapai konsensus dan kesepakatan'' katanya.

Presiden Indonesia, dengan sistem presidensialisme tidak perlu rapat. Kekeliruan itu, saya tak pernah emmbaut UU yang mengharuskan presiden mengambil keputusan dengan rapat di Istana. Tidak ada itu, tidak perlu rapat. 

''Nggak ada itu rapat besar, paripurna kabinet, nggak ada itu lembaga. Presiden tak memerlukan rapat. Dia memerlukan perintah. Ketika dia melakukan perintah itu, dia mempunyai instrumen untuk memastikan perintahnya tepat, perintahnya benar,'' lugas Fahri.(R04) 

Listrik Indonesia

Berita Lainnya

Index