Sutiyoso : TNI Dikerahkan Kalau Satuan Lain Tak Bisa Menyelesaikan, Itu pun Mesti Terukur...

Sutiyoso : TNI Dikerahkan  Kalau Satuan Lain Tak Bisa Menyelesaikan, Itu pun Mesti Terukur...
Sutiyoso

JAKARTA (RIAUSKY.COM)- Mantan Panglima Kodam Jaya (Pangdam Jaya) Letjen (Purn) Sutiyoso, ikut bicara menyampaikan pandangannya soal ikut terlibatnya prajurit TNI dalam penertiban baliho pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab. 

Ia menyinggung pengalamannya saat jadi Pangdam Jaya pada 1996.

Dia menjelaskan Pangdam Jaya merupakan salah satu dari tiga unsur yang bertanggung jawab di Ibu Kota. Selain Pangdam Jaya, ada Gubernur DKI Jakarta dan Kapolda Metro Jaya.

Pria yang akrab disapa Bang Yos itu menekankan TNI jika pun bertindak itu mesti terukur. Kata dia, pengerahan TNI sebagai langkah terakhir jika satuan lain tak bisa menyelesaikannya.

Untuk penurunan baliho pun menurutnya cukup petugas Satpol PP yang mengerjakannya.

"Baliho itu kan ada perda-nya. Tempatnya di mana, ukuran mana, pajak berapa, itu kan tidak bisa sembarangan. Gitu kan. Nah, kalau itu salah ya diturunkan. Diturunkan, dipasangkan lagi, ya turunkan lagi. Itu sudah cukup Satpol PP," kata Bang Yos dalam acara Kabar Petang tvOne yang dikutip VIVA, Senin, 23 November 2020.

Mantan Gubernur DKI itu kemudian mengatakan jika ada baliho melanggar perda dengan konsekuesi hukum maka kepolisian bisa turun tangan untuk mengusut. 

Berikutnya, jika Polda Metro tak sanggup maka TNI turun tangan. Namun, itu pun harus ada ukurannya.

Dia menceritakan pengalamannya saat menjabat Pangdam Jaya pada 1996. 

Sebagai Pangda Jaya, saat itu ia dapat instruksi dari Panglima ABRI untuk mengambil alih karena Polda Metro Jaya sudah tak sanggup.

"Kalau sudah dan gagal semua, katakan tidak tembus semua baru lah TNI ambil alih. Dan itu sudah ada contohnya saat saya Panglima itu peristiwa 27 Juli. Daerah Polda sudah dianggap tak sanggup lagi maka panglima memerintahkan saya ambil alih. kan itu ceritanya," ujar Bang Yos.

Terkait itu, ia menilai dalam polemik penurunan baliho perlu langkah-langkah soft power dulu. Ia menyinggung dalam langkah ini seperti operasi penggalangan.

"Bagaimana pun atau siapa pun itu semua rakyat kita. Di dalam keluarga, itu ibaratnya anak-anak kita, macam modelnya ada yang nakal, ada yang alim. Nah, yang nakal kita kasih tahu, namanya bahasa intelijen itu operasi penggalangan," tutur Bang Yos.

Itu bisa dilakukan dengan cara lunak, kita ajak, jangan begini, jangan begitu, itu biasanya unsur intelijen. 

"Kalau tak tembus baru kita melakukan penggalangan dengan cara-cara keras. Tentu cara keras yang saya maksud itu dengan terukur sesuai hukum yang berlaku itu seperti apa," jelas Bang Yos.

Pun, ia menanggapi turun tangannya Pasukan Komando Operasi Khusus atau Koopsus dengan kendaraan taktisnya dengan mendatangi ke markas FPI di Petamburan, Jakarta. Ia heran karena situasi Jakarta tak genting.

"Apalagi sampai mengerahkan Pasukan Khusus. Pasukan khusus itu amat-amat barang mahal. Itu hanya ditugaskan kepada sebuah sasaran yang niscaya tidak bisa dilakukan satuan lain. Itu pasukan khusus maju. Saya kira kita belum segenting itu," tutur eks Ketua Umum Parta Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) itu.

Tindakan apapun, sekali lagi harus terukur, jangan berlebihan. 

''Tapi ingat ya, saya menyalahkan adik-adik saya juga nggak bisa, baik panglima, atau mungkin polda gitu, karena mereka punya atasan. Kalau kita kaitkan dengan kemarin statemen panglima TNI maupun kunjungan ke pasukan-pasukan elite saya kira ada kaitannya dengan ini. Bagaimana pun panglima kalau dia dapat perintah dari atas juga dia susah juga,'' ungkap dia. 

Namun, lanjut Sutiyoso, TNI maju pada saat-saat terakhir sebagai senjata pamungkas kalau yang lain sudah tidak bisa lagi. Harus seperti itu. Karena intinya tentara itu dihadapkan kepada musuh. musuh dari luar maupun dari dalam, seperti separatis, teroris.(R04)

Listrik Indonesia

Berita Lainnya

Index