Jadi Alat Kekuasaan, Prabowo-Sandi Jadi Pelopor Revisi UU ITE, Siapa Setuju Dukung #02

Jadi Alat Kekuasaan, Prabowo-Sandi Jadi Pelopor Revisi UU ITE, Siapa Setuju Dukung #02
Dahnil Anzar Simanjuntak

JAKARTA (RIAUSKY.COM)- Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional atau BPN Prabowo-Sandiaga, Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, capres dan cawapresnya mendorong revisi Undang-undang Informasi dan Transksi Elektronik atau UU ITE. Sebab, UU ini banyak disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan.

"Terkait dengan komitmen kami, pasangan Prabowo dan Sandi untuk mendorong revisi UU ITE. UU ini banyak disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan dalam tanda kutip," kata Dahnil di Jalan Sriwijaya, Jakarta, Senin 4 Februari 2019.

Ia menyebutkan, sejak UU ini ditetapkan pada 2008, mulai 2014, atau saat Joko Widodo memerintah menjadi puncak orang dijerat UU ITE. Di antaranya, saat 2016, terdapat 84 kasus dalam pilkada DKI Jakarta.

"2017, ada 51 kasus. 2018 ada delapan kasus. Korban rata-rata masyarakat awam dan pelapor pejabat negara. Peristiwa paling banyak dan ditangani itu memang DKI Jakarta, persentasenya 61,80 persen," kata Dahnil.

Ia menilai, ada banyak pasal karet dalam UU ITE. Misalnya, Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2 UU ITE. Bila UU ini direvisi, maka wartawan bebas berekspresi dan masyarakat juga bebas berekspresi di media sosial.

"Kita yang di sosial media, bebas berekspresi dengan etika yang sudah ditetapkan, misalnya kalaupun ada pelanggaran hukum sudah diatur oleh KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana)," kata Dahnil.

Ia menyebutkan, korban UU ini sebanyak hampir 30 persen terdiri dari masyarakat awam. Lalu, kalangan aktivis yang menjadi korban UU ini 8,2 persen, pelajar mahasiswa 6,5 persen, dan karyawan-karyawan lain di bawah 10 persen.

"Siapa pelapor utama dari undang-undang ITE itu, paling banyak adalah pejabat negara. Jadi, pejabat publik yang kemudian merasa harkat dan martabatnya itu diganggu, kemudian merasa terganggu dengan kritik, mereka bisa menggunakan Undang-undang ITE untuk menjerat siapapun," kata Dahnil seperti dilansir dari viva, Senin (4/2/2019).

Ia, lalu menyebutkan pelapor UU ITE sebanyak 35 persen terdiri dari pejabat. Ia menyimpulkan, UU ini menjadi alat pejabat negara membungkam kritik. 

"Artinya apa, sebagian besar pejabat kita itu memang mempunyai kecenderungan anti kritik. Ketika muncul kritik, kemudian dia menggunakan undang-undang itu. 

Kalau ada delik, dia pidana, dia kriminalisas,i kalau enggak ada delik, dia gunakan kata-kata hoax," kata Dahnil.

Menurutnya, cara para pejabat menjawab kritik dengan UU ITE. Khususnya, dengan me-labeling pengkritik sebagai produsen hoax.

"Ini bahaya sekali. Ini ancaman serius bagi demokrasi kita dan terus terang pak Prabowo dan bang Sandi, tidak mau ini terus terjadi dan kita ingin menghentikan cara-cara membungkam masyarakat seperti ini dan ini adalah ancaman serius bagi demokrasi," kata Dahnil. (R04)

Listrik Indonesia

Berita Lainnya

Index