Deddy: Fluktuasi Statistik Data Quick Count Sejumlah Lembaga Survei Pilpres Tidak Lazim

Deddy: Fluktuasi Statistik Data Quick Count Sejumlah Lembaga Survei Pilpres Tidak Lazim
Tayangan data hasil quick count yang ditayangkan sejumlah lembaga survei.

JAKARTA (RIAUSKY.COM)- Pengamat dan ahli Teknologi Informasi (TI)  Institut Teknologi Bandung (ITB) Deddy Syafwan mempertanyakan kesahihan data yang ditayangkan oleh sejumlah lembaga survei Pilpres yang ditayangkan di beberapa stasiun televisi.

Hal tersebut tercermin dari beberapa tampilan data yang dianggap tidak lazim dan cenderung tidak menunjukkan data hasil penghitungan yang riil. 

Deddy mencontohkan, angka statistik dimulai dari nol dan naik secara bertahap. Namun dalam tayangan sejumlah media, terjadi lonjakan-lonjakan yang tidak lazim di tahap awal, selanjutnya angka stabil pada bilangan-bilangan tertentu. 

Disebut Deddy, situasi penggunaan data statistik tersebut tidak lazim. Karena, idealnya, angka yang masuk akan mengalami fluktuasi naik dan turun yang bisa cenderung sangat fluktutif, dan tidak tertutup kemungkinan akan berlangsung datar. 

Dari data yang ditampilkan, terlihat jelas bagaimana, hanya pada menit-menit pertama terjadi fluktuasi angka, namun, selanjutnya angka statistiknya flat dan berkisar pada bilangan-bilangan tertentu yang sangat tidak masuk akal untuk terjadi.

''Apalagi kalau persentase jumlah objek quick countnya mencapai jumlah 2.000 an Tempat Pemungutan Suara (TPS), yang jumlahnya bisa mencapai ratusan ribu pemilih,'' sebut dia. 

''Fluktuasi angka pasti akan terjadi pada masing-masing calon, bisa jadi angkanya akan melonjak tajam, namun bisa jadi juga pada saat tertentu akan turun. Namun, situasi itu tidak tercermin dari trafik data yang ditayangkan oleh lembaga-lembaga survei,'' sambung Deddi.

Karena itulah, menurut dia, tidak aneh bila banyak publik yang mempertanyakan kesahihahan data yang ditayangkan sejumlah lembaga survei yang seolah-olah sudah tersetting sedemikian rupa pada bilangan-bilangan tertentu. 

Yang menjadi persoalan, sebut Deddy lagi, fakta yang ditemukan masyarakat dari data riil di lapangan, menunjukkan kejomplangan data yang sangat luar biasa pada masing-masing calon. 

''Di satu daerah, seperti di Jawa Timur, pendukung Jokowi jauh lebih banyak dan mendominasi perolehan suara. Namun, di daerah lain, seperti di Sumatera, pendukung Prabowo mendominasi perolehan suara dan jauh meninggalkan calon lain,''imbuhnya. 

Dia juga menyebutkan, ada anomali terhadap dukungan publik terhadap masing-masing calon. Seperti lonjakan suara pemilih Prabowo di sejumlah TPS di Sumatera Utara yang seolah tidak tercermin dari quick count yang dilakukan.

Karena itulah, guna menghindari stigma negatif publik terhadap hasil penghitungan quick count yang dilakukan oleh lembaga survei, Deddy mengajak lembaga survei yang ada untuk membuka data.

''Kita jangan bicara tentang hasil akhirnya, tapi ungkapkan kepada publik tentang data yang masuk berasal dari mana, TPS nya dimana, jumlah DPT dan pemilihnya berapa,'' ungkap dia. 

Kalau hanya 2.000 TPS saya pikir masih mudahlah ya kita ekspose, paling tidak populasi suara yang disebutkan tercermin dan diketahui, sehingga bisa dipertanggung jawabkan kepada masyarakat.

''Kita tidak ingin, lembaga survei terkesan menjadi sarana untuk menggiring hasil pemilihan, walaupun riilnya, hasil tersebut akan diumumkan resmi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU),'' sebut dia.

Disamping itu, Deddy juga mempertanyakan pernyataan dari sejumlah petinggi lembaga survei yang sudah berani menyimpulkan kemenangan pasangan calon presiden walau populasi sumber data quick count masih berkisar di bawah 60 persen.

''Lah, bagaimana mungkin anda mengatakan si A sudah menang, sementara anda baru mengantongi 55-60 persen suara, anda tentunya terlalu berani untuk membuat keputusan yang bisa mempengaruhi sikap publik,'' sebut Deddy.

Deddy berharap, lembaga-lembaga survei bisa menjadi sarana pencerdasan yang bukan saja menghasilkan data, namun juga bisa dipertanggung jawabkan tanpa terlebih dahulu diposisikan untuk membuat kesimpulan yang bisa  mempengaruhi respon publik terhadap sebuah proses demokrasi yang sedang berlangsung. 

''Karena itu, alangkah lebih baik kalau data yang dimiliki oleh beberapa lembaga survei itu dibuka saja pada publik, sehingga tidak menimbulkan persepsi negatif terhadap lembaga-lembaga survei yang ada,'' kata dia.(R04)

Listrik Indonesia

Berita Lainnya

Index