Melihat Kehidupan Pemulung di TPA Sungai Beringin

Mereka Mengais Hidup Ditumpukan Sampah Warga Tembilahan

Mereka Mengais Hidup Ditumpukan Sampah Warga Tembilahan
Suasana pemilahan dan pembersihan limbah plastik yang akan dijual lagi kepada para pengepul.
 
 
TEMBILAHAN (RIAUSKY.COM)-  Mengais rezeki ditumpukan sampah. Itulah kegiatan  yang dilakukan oleh sekitar 38 orang pemulung di gunungan sampah di Tempat Pemrosesan Sampah (TPA) Sungai Beringin, Tembilahan. Terdiri atas ayah, ibu dan anak, mereka mengais rupiah dari pagi hingga langit kelam. 
 
Setiap harinya, dari pagi hingga petang terkadang hingga malam hari, mereka bekerja mengumpulkan dan membersihkan sampah plastik dan botol-botol bekas dari gunungan sampah di Tempat Pemrosesan Sampah (TPA) terbesar di Tembilahan. Tujuan akhirnya untuk kemudian dijual kembali kepada penampung. 
 
Tak banyak apa yang menjadi harapan mereka. Hasil maksimum dari apa yang mereka kerjakan tersebut hanya berkisar antara Rp18.000 - Rp 20.000 per harinya, yang nantinya akan dibayarkan per dua hari, per minggu atau per 2 minggu.
 
Santi (37), salah seorang pemulung yang ditemui oleh riausky.com di lokasi pembersihan botol-botol bekas di TPA, Ahad (31/1/2016) mengatakan bahwa hasil dari apa yang mereka kerjakan tersebut dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 
 
"Ya, buat makan lah mas. Kalau 1 minggu, saya dan suami juga anak saya bisa dapat Rp150 sampai Rp200 ribu mas. Tapi, bisa pinjam dulu kok mas dengan mandor (penampung,red) menjelang 1 minggu," jelasnya.
 
Terkait penampungan sampah plastik dan botol-botol bekas tersebut, Koordinator Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Dinas Kebersihan, Pertamanan Dan Pemakaman (DKPP) Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Hendri Budi (42) yang ditemui di gedung pengomposan yang letaknya tidak jauh dari lokasi pembersihan botol-botol bekas di TPA, sedikit menceritakan proses panjang bisnis penampungan yang untuk saat ini dikelola oleh dia sendiri. 
 
"Jauh sebelum terdapat bisnis penampungan, dulunya disini adalah tempat pemrosesan sampah-sampah, baik organik maupun anorganik menjadi kompos. Kompos yang telah jadi tersebut kemudian diperjual-belikan untuk keberlangsungan bisnis pengomposan. Tetapi, setelah dikalkulasikan ternyata kami tidak balik modal alias rugi, yang mana kerugian tersebut berasal dari biaya operasional. Maka dari itu, proses pengomposan dihentikan," ujar Hendri.
 
"Setelah penghentian, tempat ini didatangi oleh para tengkulak (penampung) untuk melakukan bisnis (penampungan) sampah plastik dan botol-botol bekas dengan memberdayakan para pemulung disini. Hanya saja, pada saat itu mereka terlalu banyak mengambil keuntungan, yang mana pemulung tidak bisa lagi mendapatkan keuntungan yang proporsional. Sehingga, saya selaku koordinator TPA yang sehari-hari menyaksikan aktivitas yang berada disini berinisiatif meminta izin kepada atasan saya di Dinas PU (Pekerjaan Umum (sekarang Dinas Kebersihan, Pertamanan dan Pemakaman)) agar dapat secara pribadi melakukan bisnis penampungan ini. Ya tentunya, tidak dengan meraup keuntungan terlalu besar yang "mencekik" para pemulung. Alhamdulillah, sampai saat ini, anda bisa lihat sendiri kan tidak ada masalah," tambah Hendri.
 
Hendri juga mengatakan bahwa terkadang juga dia sedikit kesulitan memenuhi permintaan pinjaman uang dari para pemulung yang membutuhkan saat itu, dikarenakan keterbatasan modal. Padahal, para pemulung akan mempergunakan uang pinjaman tersebut untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka. 
 
Hendri berharap agar ada calon donatur yang bersedia memberikan pinjaman uang untuk mengatasi keterbatasan modal ini, sehingga dirinya bisa memberikan pinjaman bagi para pemulung disaat mereka sedang membutuhkan nantinya.
 
Saat ditanya harapannya kepada pemerintah daerah (Pemda) setempat, Hendri menjawab, "Gak usah, mekanismenya sulit. Alur prosesnya begitu panjang dan membutuhkan banyak waktu".(Dedek)

Listrik Indonesia

#Sampah

Index

Berita Lainnya

Index