Punya Nama MATI

Wanita di Situbondo Kondisinya Segar Bugar

Wanita di Situbondo Kondisinya Segar Bugar
Wanita bernama MATI di Situbondo, kondisinya masih sehat

SITUBONDO (RIAUSKY.COM) - Kata 'mati' selalu saja identik dengan kematian. Namun di Situbondo Jawa Timur, Mati ternyata masih hidup. Kondisi wanita buruh tani itu bahkan masih segar bugar.

Ibu 2 anak itu juga tidak pernah merasa gusar, ngeri, atau aneh dengan nama Mati, yang telah diberikan kedua orangtuanya pada 46 tahun silam.

"Sudah terbiasa sejak kecil. Orang di sini juga biasa memanggil saya Mathi, tapi tulisannya Mati. Benar sesuai di KTP, saya segar bugar," kata Mati.

Sesuai data di KTP elektronik bernomor 3512124107690017, nama wanita ini memang bertuliskan Mati. Dia lahir di Situbondo pada 1 Juli 1969. Mati merupakan anak bungsu dari empat bersaudara, yang lahir dari pasangan Marin dan Ambasi.

Wanita ini tidak pernah protes terhadap kedua orangtuanya yang kini telah sama-sama meninggal dunia, terkait pemberian nama Mati kepada dirinya. Ketiga kakaknya memiliki nama yang wajar. Saudara tertuanya bernama Maya, lalu anak kedua bernama Toyani, ketiga Sumawi, lalu si bungsu bernama Mati.

"Tapi sekarang tinggal tiga, kakak ketiga saya, Asmawi, sudah meninggal dunia," sambung Mati.

Meski namanya sendiri tergolong cukup aneh, namun Mati tidak berinisiatif memberikan nama yang aneh-aneh pula kepada anak-anaknya. Terbukti, kedua anaknya hasil pernikahan Mati dengan Shaleh namanya cukup bagus, yakni Isnawati dan Hadi. Kedua anak Mati itu kini sudah sama-sama telah menikah.

Kepala Desa Palangan Kecamatan Jangkar, Mashudi mengatakan, data dalam KTP itu sudah benar. Warga setempat juga tidak merasa janggal dengan nama Mati tersebut. Sebab, panggilan keseharian yang bersangkutan jauh dari makna kematian.

"Hanya tulisannya Mati, kalau orang-orang di sini memanggilnya Mathi. Masak mau ditulis Madi, nanti malah mirip nama laki-laki. Jadi KTP itu sudah benar dan tidak ada masalah," papar Mashudi.

Lahir di Jurang Tempat Sembunyi dari Pembantaian
Pemberian nama Mati bukan tanpa alasan. Disebut-sebut, pemberian nama Mati oleh kedua orang tuanya, yakni pasangan Marin - Ambasi, karena bayi Mati terlahir di era pembataian silam sehingga banyak warga yang mati akibat dibantai.

"Menurut cerita orangtua sih begitu. Saya tidak tahu pembantaian apa. Saya juga tidak pernah mempermasalahkan pemberian nama itu. Warga dan para tetangga sudah terbiasa dengan nama saya," kata Mati.

Dari cerita orang tuanya, Mati juga mengetahui, dirinya terlahir di sebuah jurang di sekitar rumahnya, tempat ayah dan ibunya dulu bersembunyi dari aksi pembantaian. Namun, Mati tidak bisa mengisahkan secara detail seperti apa proses persalinan ibundanya di jurang tempat persembunyiannya tersebut.

"Kalau itu saya tidak tahu. Hanya cerita kalau saya lahir di jurang tempat persembunyian. Karena dulu katanya banyak yang mati dibantai. Saya juga tidak tahu pastinya tahun berapa, cuma di KTP tanggal lahir saya tertulis 01-07-1969," sambung wanita buruh tani itu seperti dimuat DETIK.

Kepala Urusan (Kaur) Umum Kantor Desa Palangan, Wawan memperkirakan, era pembantaian dimaksud adalah pada masa PKI silam. Sebab saat itu memang banyak warga desa setempat yang memilih bersembunyi, karena takut dibunuh. Wawan juga tidak menampik, pemberian nama anak oleh orang tua di desanya banyak yang dikait-kaitan dengan kejadian saat si bayi terlahir.

"Ada di sini namanya Kempar. Itu dulu karena waktu anaknya lahir, si bapak sedang menangkap ikan jenis Kempar. Ada juga di sini yang namanya Budung (bodong, red), malah nama Tembing juga ada. Semuanya tidak terlepas dari kejadian saat anaknya terlahir," tandas Wawan. (R02)
 

Listrik Indonesia

Berita Lainnya

Index