Jelang Sidang Tuntutan, Jikalahari dan RCT Kupas Kasus Kebakaran Hutan PT LIH

Jelang Sidang Tuntutan, Jikalahari dan RCT Kupas Kasus Kebakaran Hutan PT LIH
Ilustrasi bekas karlahut
PEKANBARU (RIAUSKY.CM) - Menjelang sidang tuntutan pada 11 Mei 2016 nanti, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) dan Riau Corruption Trial (RCT) merekomendasikan pada penuntut umum dan majlis hakim agar menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 8 tahun, denda Rp 8 miliar dan pidana tambahan dengan membayar biaya kerugian ekologis, ekonomis, dan biaya pemulihan akibat pembakaran lahan seluas 533 hektar area perkebunan sawit, PT Langgam Inti Hibrido (LIH) senilai Rp 192 miliar kepada Manager Operasional PT LIH, Frans Katihokang.
 
Koordinator Monitoring Peradilan RTC, Fadli mengatakan bahwa hasil monitoring yang dilakukan selama persidangan, menunjukan PT LIH melakukan dengan sengaja, karena sarana dan prasarana pemadam kebakaran tidak memenuhi prosedur aturan yang berlaku.
 
"Kami menilai Frans Katihokang terbukti telah melanggar pasal 98 ayat 1 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup," katanya, Rabu, 4 Mei 2016.
 
Pihaknya juga menuntut majlis hakim agar memasukkan dalam pertimbangannya bahwa Direktur Utama perusahaan itu, Devin Antonio Ridwan, Budianto Purwahyo, I Nyoman Widiarsa serta PT LIH sebagai Badan Hukum, harus bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan dan lahan di areal perusahaan itu.
 
Sementara itu, Koordinator Jikalahari, Woro Supartinah, melihat bahwa Frans terbukti bertindak melakukan suatu perbuatan atas dasar adanya perintah dari atasan dan ketentuan perusahaan. Frans memang diketahui baru beberapa hari menjabat sebelum terjadinya kebakaran lahan tersebut. Diangkatnya Frans dalam jabatan itu sesuai dengan SK yang ditandatangi oleh Nyoman, selaku Direktur Utama PT LIH.
 
RCT dalam paper bentangan mencatat, sidang kasus kebakaran lahan itu berlangsung selama 13 kali persidangan dan 1 kali sidang di lapangan. Sidang itu sendiri berlangsung sejak 2 Februari hingga 26 April 2016. Dalam persidangan ini Penuntut Umum menghadirkan 18 saksi fakta dan 7 saksi ahli.
 
Faktanya selama proses sidang berlangsung, PT LIH terbukti sengaja tidak menyediakan sarana dan prasarana pencegahan kebakaran lahan di area mereka. Perusahaan kebun sawit itu hanya memiliki 1 menara pemantau api. Padahal luas areal gondai sampai 1.026 hektar lebih. Setidaknya harus punya 5 sampai 10 menara.
 
"Menara itu juga tidak disediakan alat bantu pengontrol api seperti teropong dan kompas. Ketersediaan alat pemadaman kebakaran juga tidak standar," kata Fadli.
 
Dalam catatan RCT, Ahli Kerusahan Tanah Basuki Wasis, dalam persidangan yang sama juga menegaskan telah terjadi kerusakan lingkungan, baik sifat kimia, biologis, maupun fisik mentah. Hal ini dibuktikan  dengan terjadinya kepunahan pada flora dan fauna disekitar terjadinya kebakaran di areal gondai PT LIH.Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) dan Riau Corruption Trial (RCT) menggelar kupasan tentang bentangan sidang terhadap Manager PT Langgap Inti Hibrido (LIH), Frans Katihokang, yang terbukti telibat dalam kasus kebakaran lahan di area perusahaan itu.
 
Wakil Koordinator Jikalahari, Made Ali mengatakan, ada banyak oknum petinggi perusahaan yang sebenarnya terlibat dalam kasus itu. Dia melihat bahwa Frans hanya sebagai korban dalam kasus ini. Dengan kata lain, para petinggi perusahan LIH, juga harus diseret kedalam persidangan untuk mempertanggungjawabkan kasus itu.
 
"Faktanya ketika itu Frans Baru diangkat dan dia seolah dikambinghitamkan dalam masalah ini," katanya.
 
Dia menambahkan bahwa ada banyak petinggi perusahaan itu yang harusnya masuk dalam meja hijau. Intinya kedepan, kasus-kasus seperti ini tidak terjadi lagi. Jikalahari sudah melihat bahwa Polda Riau sudah bekerja keras dengan ditetapkannya 18 perusahaan yang akan diproses secara hukum.
 
2 diantaanya sudah masuk dalam persidangan. Namun kalau hakimnya tidak memihak kepada kepentingan masyarakat tentunya akan sia-sia kinerja aparat kepolisian.  "Kami hanya tidak ingin kasus-kasus seperti ini hanya dibiarkan bebas begitu saja," sambung made.
 
Persoalan Jikalahari yang dianggap mencampuri urusan pengadilan, kata Made, hampir semua undang-undang selalu ada satu pasal tentang peran serta masyarakat. Bahwa orang-orang yang membela lingkungan hidup tidak bisa dipidana dan dituntut. Peran serta masyarakat agar hukum itu bsa tegak.
 
"Terutama soal keyakinan. Ini yang susah ditebak. Makanya masyarakat hanya mengusulkan. Kalau diterima silahkan kalau tidak diterima silahkan. Itu semua kewenangan mutlak dia. Tapi publik punya kewajiban untuk mengingatkan," sambungnya.
 
Publik dengan sikap yang sopan boleh-boleh saja melakukan pengawasan dan memberi rekomendasi. Hakim diminta untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Yang sesungguhnya ini adalah mandat rakyat. "Kami berlindung dibalik aturan itu," ujar Made. (R05)

Listrik Indonesia

Berita Lainnya

Index