Ketika Program KKPA Investor Malaysia Menyisakan U

Perjuangan Warga Terantang Manuk Kabupaten Pelalawan Menuntut Keadilan di Tanah Sendiri dari PT Safari Riau (1)

Perjuangan Warga Terantang Manuk Kabupaten Pelalawan  Menuntut Keadilan di Tanah Sendiri  dari PT Safari Riau (1)
Presiden Joko Widodo menyerahkan sertifikat pada warga di areal perkebunan sawit pola KKPA sebagai bukti kepemilikan sah atas tanah mereka.

PEKANBARU (RIAUSKY.COM)- Konflik program  Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA) akhirnya meletus di Kabupaten Pelalawan. Bukan hanya satu koperasi, bahkan dua koperasi dengan bapak angkat yang sama. 

Motifnya sama, bukannya sejahtera, kini pengurus koperasi dililit hutang hingga puluhan miliar. Kini mereka berperkara di meja hijau.

Program yang digadang-gadang akan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat pemilik lahan dengan melibatkan pihak ketiga, dalam hal ini perusahaan balik membelit rakyat. 

Salah satunya yang dialami oleh warga Desa Terantang Manuk, Kecamatan Pangkalan Kuras Kabupaten Pelalawan. 

Kerja sama pembuatan kebun kelapa sawit yang dilakukan antara masyarakat melalui Koperasi Terantang Jaya Mandiri (TJM) dan PT Safari Riau, anak perusahaan dari PT ADEI, perusahaan investor asal Malaysia malah menjerat masyarakat dalam hutang berkepanjangan.

Sudah semenjak tahun 2006 lalu, masyarakat dan perusahaan memutuskan bekerja sama menanam lahan seluas 750 hektare dengan kelapa sawit. Namun, hingga tahun 2018, beban hutang KKPA yang digenggam oleh masyarakat melalui koperasi TJM nyaris tidak berkurang. Dari total utang sebesar Rp31,7  miliar saat penandatanganan kerja sama (MoU) tahun 2011, hingga pertengahan tahun 2018 hanya berkurang berkisar Rp1 miliar.

''Ya, yang menjadi pokok persoalan adalah disana. Kami mempertanyakan, berapa besar pembayaran hutang yang telah dilakukan oleh PT Safari Riau terhadap utang yang ditanggung oleh Koperasi TJM sebagai wakil masyarakat,'' ungkap Ketua Koperasi TJM, Safar.

Idealnya, setiap kerja sama pinjaman uang kepada perbankan ada mencantumkan jangka waktu lama masa pinjaman, tapi yang dialami oleh masyarakat di koperasi TJM tidaklah begitu.

''Idealnya akan ada angka, berapa persen dari penghasilan yang dibayarkan untuk utang dan itu masuk dalam cost operasional yang dipotong setiap kali panen. Tapi, sejauh ini, kami tak pernah mendapatkan penjelasan tentang itu. Ketika ditanyakan tentang laporan keuangan saja, itu bisa sampai berbulan-bulan menerimanya. Sementara ketika mengajukan pemotongan terhadap beban operasional, termasuk pajak, setiap bulan pihak perusahaan selalu datang minta tandatangan kita,'' imbuh Sapar.

''Ya, kalau seperti itu, tentu kami tak akan pernah tahu berapa besar sebenarnya penghasilan dari kebun ini, berapa yng dibayarkan untuk membayar kredit, berapa besar untuk membeli pupuk, termasuk biaya-biaya lainnya. Kita minta semua dijelaskan secara rinci dan teraudit ,'' ungkap Sapar.

Dia menyebutkan, program KKPA sendiri merupakan salah satu solusi dari negara untuk membantu menumbuhkan ekonomi masyarakat lewat kredit kepemilikan kebun bagi masyarakat petani.

Idealnya, sebut dia, setelah berlalu masa KKPA, lahan kembali kepada masyarakat dan disana jelas kapan waktu kredit itu lunas. Tapi dengan kondisi saat ini, disebutkan Safar, jangankan anggota koperasi sebagai pemilik tanah, pengurus koperasi pun tidak pernah tahu kapan utang tersebut selesai dan tanah juga kebun yang ada di atasnya akan kembali kepada masyarakat.(R04/bersambung)

Listrik Indonesia

#TJM

Index

Berita Lainnya

Index