Refleksi Hari Tani Nasional 2017, Mana Tanah Petani Indonesia?

Refleksi Hari Tani Nasional 2017,  Mana Tanah Petani Indonesia?
Sekjend M. Rizal Fahmi

Oleh: M. Rizal Fahmi, Sekjend Gerakan Mahasiswa Kampar

Hari Tani Nasional (HTN) yang diperingati setiap tanggal 24 September merupakan hari lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, yang juga merupakan momentum kebangkitan kaum tani di seluruh Indonesia, sebagaimana ditetapkan melalui Kepres 169 tahun 1963. 

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengamanatkan terwujudnya keadilan sosial dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia melalui pelaksanaan reforma agraria, yang program pokoknya adalah menyediakan tanah dan kelengkapan pertanian untuk kaum petani. Namun amanat ini tidak dijalankan dari pusat hingga Daerah. Hingga kini nasib kaum tani tak kunjung membaik. Kemiskinan di Daerah semakin luas karena ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang semakin tajam oleh para pemodal.

Gambaran sederhana, total tanah di kuasi pemilik modal  yang mayoritas pihak asing sekitar 42 juta hektar pertambangan minerba, 95 juta hektar migas, 32 juta hektar sektor kehutanan, sekitar 9 juta hektar perkebunan sawit. Jadi total tanah yang dikuasai oleh korporasi mencapai 178 juta hektar, padahal luas daratan Indonesia 195 juta hektar (Institute for Global Justice). Habis sudah tanah kita di kuasai pemilik modal, sedangkan petani hanya menguasai rata-rata 0,3 - 0,5 hektar tanah, jadi. Mana tanah Rakyat?

Dengan situasi ini menjamurlah pentani tak bertanah ( buruh tani) kemiskinan Rakyat semakin akut karena tanah di kuasai para pemilik modal, pemerataan kesejahteraan hanya menjadi mimpi bagi rakyat dan hingga tahun 2017 kapitalisme dan feodalisme masih menjajah Rakyat Indonesia.

Hanya Reforma agraria sejati yang mampu mengatasi darurat agraria nasional karena reforma agraria adalah sebagai salah satu kata kunci pemberdayaan masyarakat dalam penggunaan, pemamfaatan dan produksi atas tanah obyek reforma agraria. Reforma agraria merupakan satu bagian dari perubahan mendasar dalam rangka perombakan hak atas tanah dan penggunaannya agar masyarakat adil dan makmur dapat terselenggra, khususnya taraf hidup petani dan taraf hidup seluruh rakyat meningkat.

Penyakit darurat agraria semakin komplikasi. Kita terancam gagal mewujudkan kedaulatan pangan. Bulan juli lalu terjadi penggerebekan gudang beras yang dimiliki oleh PT. Indo Beras Unggul (IBU) di Bekasi, Jawa Barat. Meski produksi beras dalam negeri dianggap cukup, impor tak bisa benar-benar bisa dihapuskan.

Beras yang di impor adalah jenis premium atau khusus untuk kebutuhan hotel, restoran, dan kafe. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip detikFinance, beras impor yang masuk sepanjang periode Januari-Februari 2017 yakni sebesar 14.473 ton dengan nilai US$ 11,94 juta. Impor tersebut naik dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, di mana impornya tercatat sebesar 2.000 ton dengan nilai US$ 1,08 juta. Jika dirinci per negara asal, impor beras terbesar berasal dari Pakistan sebesar 6.500 ton (US$ 2,19 juta), disusul India sebanyak 3.510 ton (US$ 1,27 juta), China sebesar 2.213 ton (US$ 7,33 juta), Thailand sebesar 1.500 ton (US$ 891 ribu), dan Vietnam sebesar 750 ton (US$ 247 ribu).

Selain impor beras, sejumlah bahan pangan pokok lain juga dimasukkan sepanjang Januari-Februari 2017, antara lain: jagung sebanyak 68.883 ton (US$ 15,26 juta), kedelai sebesar 591.413 ton (US$ 266,38 juta), biji gandum dan mesi 1,62 juta ton (US$ 359 juta), dan tepung terigu sebesar 10.009 ton (US$ 2,99 juta). 

Adapun penyebab kita terus bergantung pada impor pangan, khususnya beras adalah:

Pertama, karena banyaknya sawah yang beralih fungsi, bulog yang tidak mampu menyerap gabah petani akibat terbentur intruksi presiden (inpres) yang mengatur harga pembelian pemerintah (HPH), sehigga saat cadangan menipis terpaksa harus impor.

Kedua, menurunya jumlah petani. Sensus Pertanian 2013 (ST 2013) menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah rumah tangga petani sebesar 4.668.316 (15,35%) satu decade. Artinya, setiap tahun, rata-rata sejumlah 466.800 petani pengguna lahan meninggalkan profesinya. Sebagian besar beralih menjadi buruh atau lari ke sektor industri manufaktur, konstruksi, jadi tukang bangunan, dan perdagangan.

Adapun penyebab menurunnya jumlah petani adalah: akibat ekonomi dimana hasil produksi tidak mampu menutupi biaya produksi di tengah kebutuhan petani yang beragam dan meningkat. Kemudian muncul cara pandang bahwa mejadi petani itu identik dengan kemiskinan, pendidikan rendah dan merupakan pekerjaan orang tua.

Ketiga, konversi lahan menjadi masalah karena terjadi di atas lahan pertanian yang masih produktif. Perubahan tata ruang wilayah terjadi akibat desakan pembangunan, terutama pembangunan infrastruktur, yang menimbulkan meluasnya konflik agrarian.

Pada bulan September 2013, jumlah kasus pertanahan mencapai 4.223 kasus, yang terdiri dari sisa kasus tahun 2012 sebanyak 1.888 kasus dan kasus baru sebanyak 2.335 kasus. Jumlah kasus yang telah selesai mencapai 2.014 kasus atau 47,69% yang tersebar di 34 Provinsi seluruh Indonesia Termasuk Riau tentunya.

Konflik pertanahan ini akan semakin meningkat seiring dengan semakin masifnya penguasaan lahan oleh pemilik modal baik pemodal asing ataupun domestik.

Kementerian Pertanian pada tahun 2014 menyiarkan rata-rata konversi lahan sawah di Sumatera, Riau dan Bangka Belitung sebesar 17.550 hektar per tahun. Kemudian data pada tahun 2013, tersisa luas lahan sawah sebesar 2.242.108 hektar. Sedangkan di Jawa dan Bali terjadi konversi lahan rata-rata masing-masing 7.923 hektar per tahun dan 1.000 hektar per tahun, lahan sawah tersisa masing-masing 3.229.825 hektar dan 78.425 hektar. Akibatnya, jika lahan berkurang, petani juga berkurang, tidak menutup kemungkinan terjadi kerisis pangan nasional. Seharusnya reforma agraria ala jokowi harus melibatkan petani dalam pengambilan kebijakan pangan lewat pembentukan Dewan Tani.

Selamat hari tani nasional 2017 Mahasiswa dan kaum tani menuntut:

1. Hentikan perampasan dan Monopoli atas tanah!
2. Jalankan Reforma Agraria sejati dan Bangun Industri Nasional!
3. Hentikan seluruh skema perdagangan tenaga kerja!
4. Hentikan kenaikan harga kebutuhan Pokok dan wujudkan Kedaultan Pangan Indonesia!
5. Hentika Represifitas kepada para pejuang kaum tani. (*)

Listrik Indonesia

Berita Lainnya

Index